Subscribe to my full feed.

Jumat, 02 November 2007

Putusan MA Bau Sabun


Soeharto VS Time

Gempa dahsyat berpusat di Bengkulu berkekuatan 7,9 skala Richter mengguncang separuh dari kawasan Indonesia. Namun ada “Gempa” yang jauh lebih dasyat yang terjadi pada 30 Agustus 2007 yang lalu yang berpusat dijalan Merdeka Barat, tepatnya di gedung Mahkamah Agung.

“Guncangan Gempa” tersebut terkait hasil putusan MA yang memenangkan Soeharto dalam gugatannya terhadap majalah Time, sebesar Rp 1 trilyun. Daya gunjang “Gempa ala MA” hingga kini masih terasa hampir diseparuh bumi. Putusan Telah mengalah majalah Time.

Putusan MA menghukum majalah Time untuk membayar 1 trilyun serta meminta maaf disejumlah media cetak dalam dan luar negeri selama tiga kali berturut-turut. Putusan kasasi dengan nomor 3215/Pdt/2001 diputus tanggal 28/8/2007 yang dibacakan terbuka pada tanggal 30/8/2007 oleh Ketua Muda MA Bidang Militer German Hoediarto (Ketua Majelis), M Taufiq (Anggota), dan Bahauddin Qaudary (Anggota).

Namun banyak pihak yang melihat adanya kejanggalan dalam putusan tersebut, mengapa putusan itu baru dikeluarkan setelah 6 tahun diajukan ? meski kasasi telah diajukan pada tanggal 8 April 2001. Dalam pertimbangan putusan, majelis hakim kasasi menggunakan kata-kata Time Asia telah mencemarkan nama baik dan kehormatan Soeharto sebagai Jenderal Besar TNI dan mantan Presiden RI.

Reaksi sengit banyak dilontarkan dari kalangan praktisi hukum dan insan pers dengan hasil putusan MA tersebut. Salah satunya Jhonson Panjaitan, SH “pentolan” PBHI. Dia menjelaskan kepada Opini Indonesia melalui Telepon. “Pertama, putusan MA itu menjadi tragedi besar bagi Pers nasional maupun Internasional. Kedua, tragedi besar itu berkaitan dengan keinginan rakyat secara konstitusional agar kekayaan Soeharto dibongkar,” paparnya.

Menurutnya putusan itu berakibat jauh, putusan itu terlihat bahwa institusi MA dan kejaksaan agung sungguh menjadi pembela sesungguhnya dari Soeharto. Pada akhirnya akan berhadapan dengan keinginan rakyat dan kaum pers.

Terkait tengang waktu yang lebih 6 tahun tertunda putusan MA tersebut, Jhonson berpendapat hal itu mengindikasikan bahwa Soeharto dan jaringannya bekerja dengan sangat disiplin, terorganisir dan penuh perhitungan. Jadi Soeharto cs melihat bahwa suasana saat ini memang mereka sudah sangat kuat dan institusi penegak hukum sudah betul-betul dipegang oleh mereka. “Dan putusan MA itu sebagai cerminan apa yang sebenarnya ingin Soeharto tunjukan,” lanutnya.

Lanjut Jhonson, bahwa putusan itu tidak hanya ingin membangkrutkan media yang mencoba mengganggu soal harta kekayaannya, akan tetapi yang jauh lebih penting bahwa hal itu justru membangkrutkan tuntutan rakyat yang ingin mengusut harta kekayaan Soeharto. Padahal selama ini pers konsisten memperjuangkan hal sekaligus melakukan fungsi kontrol.

Adalah berbahaya putusan itu terhadap kebebasan berekspresi dan proses demokrasi kedepan. Yang sangat mungkin, hukum itu menjadi alat politik. Karena publik telah mengetahui bahwa pada tahap sebelumnya, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dimenangkan oleh Time, kok saat ini bisa kalah. Johson mengingatkan agar putusan MA itu harus diperiksa dan publik mesti tahu sejauhmana ketransparanan MA dalam proses memberikan putusan. “Ssebab putusan ini sudah jelas menjadi ancaman yang serius bagi kebebasan pers dan demokrasi dinegeri ini, terang Jhonson dengan nada tinggi,” ungkap pendiri PBHI ini.

Tentunya bila demikian, ancaman itu secara otomatis membidik kepada para jurnalis dan pewarta kedepan. putusan itu menghilangkan mekanisme pers, yang didalamnya ada Hak Jawab. Mekanisme bilamana ada yang mendapat keberatan atas pemberitaan, tentu dapat mengajukan hak jawab ataupun bisa mengajukan ke Dewan pers untuk menyatakan keberatan. Tetapi dalam kasus ini tidaklah demikian, sebab MA tidak menggunakan atau mengindahkan mekanisme pers dalam mengambil putusan.

Dipihak lain, Dadang RHS seorang “dedengkot” Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menanggapi putusan itu dengan nada gusar, “Seyogyanya proses hukum itu haruslah transparan, kenapa kemudian MA memenangkan Soeharto? Itu harus ada alasan-alasan yang jelas kepada publik,” katanya gusar. Menurut Dadang, putusan itu seharusnya jangan sekedar bahasa huku, karena publik belum tentu mengerti. Yang aneh menurutnya, masalah pers yang semetinya dilalui dengan mekanisme pers. Hak jawab itu sudah digunakan atau belum? Time sudah memuat belum keberatan yang diajukan oleh Soeharto atas pemberitaan itu? “Bila keberatan tentunya bisa memajukan keberatannya ke Dewan Pers, yang semua itu telah diatur didalam UU Pokok Pers”, tukas Dadang kepada Opini Indonesia, Rabu (12/9), di Jakarta.

Dadang juga mengkhawatirkan adanya kebiasaan yang kurang baik yang belakangan muncul, dimana bila terjadi sengketa pers, lantas “ujuk-ujuk” langsung dibawa kepengadilan. Padahal seharusnya hal itu ditempuh dengan mekanisme pers seperti yang telah diatur oleh UU Pokok Pers, dan telah menjadi konvensi internasional diseluruh belahan bumi. Sebab bila kerap masalah pers dibawa kepengadilan maka hal itu dapat diintervensi oleh kekuatan politik.

Reformasi MA gagal ?

Terkait seringnya MA mengeluarkan putusan yang kontroversi, Jhonson menerangkan, bangsa ini memang mereformasi MA dan Kejagung, sebab institusi itu saat ini telah menjadi sarang Mavia. Mereka terang-terang membela Soeharto dan kroni-kroninya. mereka dengan cerdas menggunakan cara hukum yang efektif, dan mengunakan hukum itu untuk merebut kemenangan dari tanggung jawab hukum yang diminta oleh rakyat secara konstitusional. “Institusi kita hancur-lebur, karena tidak bisa merealisasikan keinginan rakyat,” ungkapnya.
Jhonson mencurigai putusan yang dibacakan ketua Muda MA Bidang Pengadilan Militer German Hoediarto, selaku ketua Majelis. “Ada aroma “main sabun” dalam proses ini, sebab yang namanya Militer yang kita tahu, tidak ada yang tidak dibawah pengaruh Soeharto pada waktu itu (Saat Aktif),” katanya penuh curiga.

Menurutnya Hakim Agung itu merupakan hakim agung bermasalah, karena banyak putusan-putusannya diprotes oleh orang yang terkena masalah. Oleh karenyanya, tidak perlu eksaminasi, yang dibutuhkan adalah Putusan PK (Peninjauan Kembali) yang membatalkan Kasasi MA itu. “Karena rakyat sedang menunggu soal transparansi terhadap harta kekayaan Soeharto”, ujarnya dengan nada tegas.

Time dan lawyernya sebaiknya segera melakukan upaya yang maksimal dengan melakukan Peninjauan Kembali (PK). Masyarakat tidak perlu menangisi hal ini, tetapi rakyat harus segera bangkit dan sadar bahwa Soeharto itu sedang menginjak-injak kita, dengan putusan-putusan dan prilaku penegak hukum saat ini. “Jadi rakyat, khususnya pers jangan tinggal diam, bila diam tentunya akan semakin diinjak-injak,” tegas Johson.

Senada dengan Jhonson, Dadang berharap, hal ini dapat dijadikan momentum untuk mengembalikan kebebasan pers seperti pada awal reformasi. Jadi bagi setiap orang yang menginginkan demokrasi di Republik ini, didalamnya Pers maka dengan serta-merta mereka harus mengawal proses demokrasi itu. “Jangan membiarkan demokrasi dan kebebasan pers berjalan sendiri, sehingga harus kita kawal agar “On the Track”, sebab bisa ditelikung ditengah jalan,” pungkas Dadang. (MP)

.

Donald Jadi Tanda Revolusi Bertetangga


Penganiayaan Donald Peter Luther Kolopita


Gelombang reaksi kecaman semakin membesar, akibat peristiwa penganiayaan salah seorang wasit senior karate Indonesia. Donald Peter Luther Kolopita (47) bertugas menjadi salah satu wasit dalam kejuaraan karate se-Asia di Seremben, Negeri Sembilan, Malaysia. Donald dianiaya 4 Polisi Malaysia Jumat (24/8), karena dianggap wajahnya mirip dengan pelaku kejahatan yang diincar aparat setempat. Meski telah dirawat intensif diruang rawat inap 646 B RSPP lantai 6 sejak 27 Agustus 2007. Tim dokter yang menanganinya diketuai Maridi Kartasasmita.

Peristiwa tersebut sempat membuat geram orang seantero Indonesia, sebab bukan rahasia umum, kalau banyak telinga mendengar dan mata melihat prilaku nyeleneh orang Malasia. Kekerasan terhadap TKI di Malaysia, bak menu sehari-hari surat kabar kita. Belum lagi kearoganan Malaysia yang mencaplok pulau Ambalat, tentu masih segar diingatan kita semua. Tensi publik meninggi ketika, ketika terang-terang Malaysia tidak meiminta maaf atas kejadian tersebut. Semburan kemarahan yang keluar dari mulut para Politisi senayan, sempat membakar opini balik, yang ikut mendukung sikap tegas para politisi DPR.

Solidaritas terusik, aksi demo dibeberapa tempat (Medan, Surabaya, Makasar, Singkawang, Pontianak, kedutaan Malaysia di Jakarta) baru-baru ini menyerebak mendengungkan anti-Malaysia, diikuti aksi pembakaran bendera Malaysia, bahkan melakukan sweeping terhadap orang Malaysia, serta ancaman pemboman Graha XL di Yogya, pemboikotan untuk tidak hadir dalam HUT Malaysia ke-50 oleh pejabat negara, sampai pemboikotan produk Malaysia.

Namun sikap datar pemerintah, yang mecoba meredam amarah publik dan paduan suara tenor elite senayan, menuai kecaman pula. “pemerintah kita ini memang banci, banci yang saya maksud tidak pakai tanda kutip. Kita dianggap tidak mempunyai integritas sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Jadi sungguh-sungguh kita tidak mempunyai independensi, kedaulatan yang bagus, dan kita tidak menaruh penghargaan serta penghormatan bagi rakyat kita. Malaysia itu, ketika membutuhkan Indonesia, mereka butuh sejumlah tenaga kerja, lantas kita bantu, namun faktanya mereka memperlakukan TKI, dengan semena-mena”, tegas Ali Mochtar Ngabalin, salah seorang Vokalis DPR, FPBD, kepada Opini Indonesia Rabu (29/8), melalui percakapan telepon.

Pelanggaran transnasional

Hal senada dilontarkan, Nadrah Izahari anggota komisi III DPR-RI fraksi PDIP, “Hal ini tergantung kepada ketegasan pemimpin negara. Bagaimana sebenarnya kerjasama yang dibina pemerintah selama ini dengan kerajaan Malaysia, kalau benar ada kerjasama yang baik tentunya, pertama tidak sampai terjadi penganiayaan, kedua tentunya pemerintah Malaysia mau meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Dengan tidakk mau meinta maaf, artinya bahwa Malaysia merasa dirinya benar, dan Indonesia tidaka dianggap oleh mereka.

Menurutnya, percuma kerjasama selama ini, Malaysia menganggap Indonesia tidak memiliki kredibilitas yang baik dan dimata mereka Indonesia tidak memiliki power. Kalau memang penyelesaian hanya sekedar proses hukum saja, tanpa ada kata maaf dengan prilaku, tindakan yang menyakiti warga negara orang lain. Padahal hampir disemua negara, ada aminan keselamatan warga negara asing melalui UU.

Nadrah menegaskan bahwa perlakuan Malaysia terhadap warga negara Indonesia itu merupakan pelanggaran terhadap transnasional. Yang menjadi pertanyaan besar, Pertama, bagaimana komitmen antara pimpinan negara Indonesia dengan Malaysia? Kedua, bagaimana konkrit bentuk kerjasama Kepolisian RI – Polisi Malaysia? “Bila kerjasamanya hanya bersifat kongko-kongko, ketemu ketawa-ketawa, secara tegas saya usulkan tidak perlu ada kerjasama lagi, percuma karena hanya menghabiskan energi dan uang negara saja”, papar anggota DPR Fraksi PDIP ini.

Agar kedepan WNI dapat dihargai oleh negara asing, Nadrah menilai mesti ada peran aktif KBRI. Agar betul-betul mereka mengetahui penempatan WNI, memantau aktifitas, keselamatan, mengurusi masalah yang menimpanya. Peran KBRI itu sangat penting, namun kita perlu tahu Dubes kita di Malaysia itu tidak ada, belum diisi. Jadi wajar jika banyak kejadian yang menimpa WNI di Malaysia, yang tentunya mengurangi rasa keamanan. Lantas, bila KBRI tidak ada lalu siapa yang akan melayani dan melindungi atau memberikan informasi, akhirnya warga negara kita dapat dihargai keberadaanya dinegara lain.

Ketegasan Sikap

Ketegasan sikap pemerintah dituntut oleh para politisi senayan, “Cara yang terbaik menurut saya adalah, pertama, segera pemerintah mengajukan untuk pemutusan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Kedua, tarik semua diplomat kita dari Malaysia, begitu juga orang-orang Malaysia yang ada dikedutaan Jakarta, usir mereka kembali ke Malaysia,” tegas Ali Mochtar Ngabalin.

Sikap pemerintah harus tegas untuk mengurus kasus ini dan rakyatnya. Jangan ketika ada rakyatnya dibantai, pemerintah tidak berani bersikap tegas. “Masa kita mau terima, kalau orang kita itu disebut “Indon”, yang artinya budak, lanjutnya.

“Kita sangat tersinggung sebagai bangsa Indonesia, kita sangat tersinggung dengan perlakuan Malaysia terhadap WNI disana. Jelas saya keberatan, sebagai anggota komisi I DPR-RI yang membidangi masalah luar negeri, saya keberatan, saya tersinggung dan tidak terima semua ini”, ujar Ali Mochtar Ngabalin dengan nada tinggi.

Ali Mochtar menambahkan, kalau langkah tersebut tidak akan mengganggu bahkan tidak ada urusan dengan ribuan TKI yang bekerja di Malaysia. Karena menurutnya bahwa Malaysia yang berkepentingan dengan Indonesia persoalan kekurangan tenaga kerja. Seluruh hutan kita telah dirampok, pulau kita ingin mereka caplok, jadi memang jelas harus ada sikap tegas terhadap Malaysia.

Meski "Klaim", SBY yang menyatakan bahwa PM Malaysia Ahmad Badawi telah meminta maaf, melalui telepon. Namun beberapa kalangan, menyatakan bahwa pemerintah kurang cerdas menyerap aspirasi masyarakat, tentunya permohonan maaf tersebut kurang afdol, bila tidak disampaikan langsung kepada publik yang ditayangkan melalui televisi. Sebab Pemerintah Malaysia harus meminta maaf kepada masyarakat Indonesia bukan kepada SBY semata.

Peristiwa penganiayaan ini menurut Ali Mochtar Ngabalin memaksa kita berani melakukan evaluasi terhadap hubungan negara-negara yang membuat masalah dengan Indonesia, terutama Malaysia. “Oleh karena itu dsiplomat-diplomat Indonesia jangan diplomat banci, tetapi seharusnya diplomat-diplomat yang mempu mempertaruhkan seluruh harkat dan martabat bangsa kita diluarnegeri,” paparnya.

Agar rakyat Indonesia yang ada diluarnegeri mendapat price, yang itu akan mebuat mereka tenang, diplomat itu wakil pemerintah di luar negeri. “Msebab mereka memiliki wakil pemerintah disana, yang kerap dapat melihat bila ada masalah, dengan segera bisa diurus. Ali menyerukan adanya evaluasi hubungan Diplomatik dengan segera. Bila perlu lakukan “Revolusi bertetangga”, sebagai tindakan tegas pemerintah SBY, terhadap perlakuan “Melayu Petronas”, selama ini kepada WNI. “Tentunya kita tidak ingin sentimen-sentimen anti Malaysia terus disuarakan, karena saat ini rakyat kita sedang terjangkit reaksi sengit, terhadap prilaku Malaysia. Sebelum ada kata maaf resmi kepada rakyat dan penyelesaian konkrit hubungan kedua negara RI-Malaysia,” pungkasnya (MP)

.

Keseriusan Menjadi Awan Gelap


Perlindungan Saksi dan Korban


Pemerintah masa bodo terhadap perlindungan saksi dan korban. Tidak ada itikad pemerintah menyelamatkan saksi dan korban. UU pun telah dilanggar.

Bila suatu Undang-Undang lahir itu adalah buah kesepakatan antara DPR dan pemerintah. Dengan argumen itu, sebenarnya tidak ada dalih yang kuat bagi pemerintah untuk tidak menjalankan perintah Undang-Undang. Sebab semua orang pun tahu, bahwa setiap pejabat negara bersumpah atau berjanji akan melaksanakan Undang-Undang. Nyatanya pemerintah sering mengabaikan perintah Undang-Undang yang telah disepakati bersama dengan DPR. Kok bisa?

Memang UU Perlindungan saksi dan korban ini telah dikembangkan, dibahas oleh DPR kemudian mereka sahkan. Namun dalam prosesnya memang penuh masalah, artinya ada ketidakseriusan pemerintah terhadap isu perlindungan saksi dan korban. Meski kita tahu, bahwa isu soal perlindungan saksi dan korban itu telah cukup lama dibahas di DPR, kira-kira 2 - 3 tahun dibahas. Kemudian setelah disahkan DPR, presiden juga butuh waktu lebih dari 1 bulan hanya untuk memberikan nomor terhadap UU tersebut.

Kemudian UU ini memerintahkan agar lembaga-lembaga penegakan hukum dibentuk setelah satu tahun UU ini disahkan, yang dibentuk pada tanggal 11 Agustus 2006. Pada tanggal itu seharusnya lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) ini sudah terbentuk. Upaya itupun tidak dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, banyak pihak terutama kalangan LSM menilai pemerintah telah lalai dan tidak serius terhadap persoalan ini. Secara tegas pemerintah tidak bisa menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh UU.

Pandangan publik menilai bahwa pemerintah tidak perduli dan masa bodo terhadap perlindungan saksi dan korban. Itu dikuatkan dengan kenyataan LPSK ini yang belum terbentuk pada tanggal 11 Agustus 2007. Ditambah pernyataan ketua panitia seleksi yang mengatakan bahwa pemerintah tidak menganggarkan dana untuk pembentukan lembaga ini. Ini tampak dalam rancangan perubahan APBN, memang tidak ada, tidak tercantum anggaran itu.

Dana sebesar Rp.3,704 miliar akhirnya cair digunakan merekruit anggota LPSK. Dengan harapan panitia ini kredibel sehingga dapat menghasilkan orang-orang yang kredibel pula. Namun harapan publik, penggunaan dana ini haruslah transparan. Setiap pengeluaran harus ada pertanggungjawabannya, dan yang terpenting harus ada keterlibatan masyarakat dalam hal ini terutama dalam hal pengawasan.

Pemeritah lalai

Meski telah terbentuk panitia seleksi yang jelas juga lambat dibentuk, dapat dipastikan merekapun tidak dapat bekerja karena tidak adanya dana. Lantas yang menjadi ‘kunci masalah’ adalah itikad pemerintah, yang mana pemerintah begitu tidak serius, sampai-sampai sudah lambat pemerintah tidak menganggarkan dana untuk ini, padahal itu merupakan kewajiban yang harus dijalankan. Seharusnya kebutuhan LPSK ini berkaitan dengan penegakan hukum, nyatanya saksi dan korban yang ada dimana-mana posisinya selalu terancam. Sehingga pembentukan lembaga ini menjadi salah satu solusinya.

Berkenaan dengan keterlambatan pembentukan LPSK ini, salah seorang aktivis ELSAM, Amirrudin menyatakan kepada Opini Indonesia Selasa (15/8) melalui percakapan telepon, “Pertama, menurut saya memang tidak ada keseriusan pemerintah untuk mengurusi lembaga ini. Yang ini tampak dari belum adanya anggaran, belum dibuatnya keppres atau Peraturan pemerintah (PP) yang harus dibuat. Kedua, sepertinya LPSK ini tidak dianggap penting oleh pemerintah.

Oleh karena itu, pemerintah mencoba mengulur-ulur waktu berharap orang akan tidak lagi perduli akan pembentukan lembaga ini. Ketiga, desakan terhadap berdirinya lembaga ini juga tidak terlalu banyak. Hal ini juga membuat situasi pembentukan LPSK ini berjalan lambat. Ini berbeda dengan KPU ataupun KPK, yang lantas semua orang merasa berkepentingan, semua orang punya respek yang tinggi. “Tetapi kalau LPSK ini betul-betul untuk mengurus nasib orang-orang yang dirugikan oleh perlakuan pengelola republik ini. Makanya dukungan untuk ini tidak banyak, dan saya sangat menyayangkan hal itu,” papar Kordinator Divisi Promosi ELSAM, Amir.

Terkait amanat UU No.13 tahun 2006, yang belum dijalankan pemerintah, Taufik Basari,SH yang akrab dipanggil Tobas menjelaskan, “Pemerintah tidak paham akan amanat itu, bahkan tidak perduli terhadap isu ini. Bila pemerintah perduli berarti pemerintah serius. Tentunya terlihat dengan terlambatnya pembentukan lembaga LPSK ini,” terang Kordinator Advokasi Hukum YLBHI itu, Selasa (15/8) malam.

Lebih jauh Tobas menambahkan, bahwa dirinya bersama koalisi LSM dan NGO akan melakukan pula langkah hukum apabila memang pemerintah samsekali tidak mau menjalankan amanat UU No.13 tahun 2006. Koalisi NGO ketika UU disahkan telah mengultimatum pemerintah agar tidak sampai ada keterlambatan, LPSK ini belum dibentuk.

Kemudian koalisi LSM juga telah melemparkan surat agar pemerintah membentuk panitia seleksi. Dan ketika panitian telah terbentuk, koalisi NGO pun telah mencoba mengingatkan kembali akan panitia seleksi dipastikan telah ada. Dengan begitu banyak surat dan upaya kunjungan untuk mengingatkan agar jangan sampai ini terabaikan. Akan tetapi tetap saja pemerintah mengabaikannya.

Tentunya koalisi pengawal LPSK ini tetap memperhitungkan soal langkah hukum apa yang akan diambil, tentunya akan memperhitungkan langkah yang paling efektif. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya sudah terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Kenapa? Karena tertera jelas perintah UU pembentukan LPSK ini pada tanggal 11 Agustus 2007. Faktanya sampai saat ini belum terbentuk juga. Artinya, jelas bahwa pemerintah telah melanggar UU dengan tidak menjalankan kewajibannya yang diatur didalam UU tersebut.

Cukup Signifikan

Amirrudin menilai, bahwa peran sentral dan urgensinya LPSK ini sangat mutlak. Oleh karena itu, dalam sisi perkembangannya lembaga ini sangat penting. LPSK ini bisa membantu kerja KPK, Komnas HAM, Pengadilan, Kejaksaan dan juga Polisi. Bukankah lembaga ini cukup signifikan? Akan tetapi dianggap kecil oleh orang yang seharusnya menjalankannya, yaitu pemerintah. Tentunya ini menjadi problem. Seharusnya lembaga ini segera terbentuk bila memang ada niat untuk memberantas korupsi, membersihkan pengadilan dan niat untuk menjalankan pemerintahan yang bersih.

Berdasarkan pengalaman, kerap para pendamping/advokasi dalam banyak kasus-kasus yang dianggap penting diantaranya, kasus-korupsi, pelanggaran HAM, kasus kekerasan rumah tangga, terbukti penegakan hukumnya urung berjalan karena saksinya terancam, dan tidak terlindungi dengan baik. Bila hal ini terus dibiarkan, maka permasalahan pengungkapan banyak kasus akan semakin sulit terselesaikan. Hingga saat ini, pengaduan-pengaduan adanya saksi yang diintimidasi dan mengalami kekerasan, makin hari makin banyak, dan mereka selalu terancam.

Segumpal asa yang tertingal bagi masyarakat terkait terwujudnya lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) ini, bahwa pemerintah harus mau melaksanakan apa yang telah diperintahkan UU dengan segera. Yang kemudian LPSK ini mampu melakukan kordinasi terhadap semua pihak, terkait persoalan perlindungan saksi dan korban yang berada dikejaksaan, pengadilan, sehingga para saksi dan korban ini dapat terlindungi dengan baik. Perlu semua pihak menyadiri bahwa perlindungan saksi dan korban ini memang betul harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan persoalan saksi dan korban. (MP)

.