Subscribe to my full feed.

Jumat, 02 November 2007

Putusan MA Bau Sabun


Soeharto VS Time

Gempa dahsyat berpusat di Bengkulu berkekuatan 7,9 skala Richter mengguncang separuh dari kawasan Indonesia. Namun ada “Gempa” yang jauh lebih dasyat yang terjadi pada 30 Agustus 2007 yang lalu yang berpusat dijalan Merdeka Barat, tepatnya di gedung Mahkamah Agung.

“Guncangan Gempa” tersebut terkait hasil putusan MA yang memenangkan Soeharto dalam gugatannya terhadap majalah Time, sebesar Rp 1 trilyun. Daya gunjang “Gempa ala MA” hingga kini masih terasa hampir diseparuh bumi. Putusan Telah mengalah majalah Time.

Putusan MA menghukum majalah Time untuk membayar 1 trilyun serta meminta maaf disejumlah media cetak dalam dan luar negeri selama tiga kali berturut-turut. Putusan kasasi dengan nomor 3215/Pdt/2001 diputus tanggal 28/8/2007 yang dibacakan terbuka pada tanggal 30/8/2007 oleh Ketua Muda MA Bidang Militer German Hoediarto (Ketua Majelis), M Taufiq (Anggota), dan Bahauddin Qaudary (Anggota).

Namun banyak pihak yang melihat adanya kejanggalan dalam putusan tersebut, mengapa putusan itu baru dikeluarkan setelah 6 tahun diajukan ? meski kasasi telah diajukan pada tanggal 8 April 2001. Dalam pertimbangan putusan, majelis hakim kasasi menggunakan kata-kata Time Asia telah mencemarkan nama baik dan kehormatan Soeharto sebagai Jenderal Besar TNI dan mantan Presiden RI.

Reaksi sengit banyak dilontarkan dari kalangan praktisi hukum dan insan pers dengan hasil putusan MA tersebut. Salah satunya Jhonson Panjaitan, SH “pentolan” PBHI. Dia menjelaskan kepada Opini Indonesia melalui Telepon. “Pertama, putusan MA itu menjadi tragedi besar bagi Pers nasional maupun Internasional. Kedua, tragedi besar itu berkaitan dengan keinginan rakyat secara konstitusional agar kekayaan Soeharto dibongkar,” paparnya.

Menurutnya putusan itu berakibat jauh, putusan itu terlihat bahwa institusi MA dan kejaksaan agung sungguh menjadi pembela sesungguhnya dari Soeharto. Pada akhirnya akan berhadapan dengan keinginan rakyat dan kaum pers.

Terkait tengang waktu yang lebih 6 tahun tertunda putusan MA tersebut, Jhonson berpendapat hal itu mengindikasikan bahwa Soeharto dan jaringannya bekerja dengan sangat disiplin, terorganisir dan penuh perhitungan. Jadi Soeharto cs melihat bahwa suasana saat ini memang mereka sudah sangat kuat dan institusi penegak hukum sudah betul-betul dipegang oleh mereka. “Dan putusan MA itu sebagai cerminan apa yang sebenarnya ingin Soeharto tunjukan,” lanutnya.

Lanjut Jhonson, bahwa putusan itu tidak hanya ingin membangkrutkan media yang mencoba mengganggu soal harta kekayaannya, akan tetapi yang jauh lebih penting bahwa hal itu justru membangkrutkan tuntutan rakyat yang ingin mengusut harta kekayaan Soeharto. Padahal selama ini pers konsisten memperjuangkan hal sekaligus melakukan fungsi kontrol.

Adalah berbahaya putusan itu terhadap kebebasan berekspresi dan proses demokrasi kedepan. Yang sangat mungkin, hukum itu menjadi alat politik. Karena publik telah mengetahui bahwa pada tahap sebelumnya, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dimenangkan oleh Time, kok saat ini bisa kalah. Johson mengingatkan agar putusan MA itu harus diperiksa dan publik mesti tahu sejauhmana ketransparanan MA dalam proses memberikan putusan. “Ssebab putusan ini sudah jelas menjadi ancaman yang serius bagi kebebasan pers dan demokrasi dinegeri ini, terang Jhonson dengan nada tinggi,” ungkap pendiri PBHI ini.

Tentunya bila demikian, ancaman itu secara otomatis membidik kepada para jurnalis dan pewarta kedepan. putusan itu menghilangkan mekanisme pers, yang didalamnya ada Hak Jawab. Mekanisme bilamana ada yang mendapat keberatan atas pemberitaan, tentu dapat mengajukan hak jawab ataupun bisa mengajukan ke Dewan pers untuk menyatakan keberatan. Tetapi dalam kasus ini tidaklah demikian, sebab MA tidak menggunakan atau mengindahkan mekanisme pers dalam mengambil putusan.

Dipihak lain, Dadang RHS seorang “dedengkot” Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menanggapi putusan itu dengan nada gusar, “Seyogyanya proses hukum itu haruslah transparan, kenapa kemudian MA memenangkan Soeharto? Itu harus ada alasan-alasan yang jelas kepada publik,” katanya gusar. Menurut Dadang, putusan itu seharusnya jangan sekedar bahasa huku, karena publik belum tentu mengerti. Yang aneh menurutnya, masalah pers yang semetinya dilalui dengan mekanisme pers. Hak jawab itu sudah digunakan atau belum? Time sudah memuat belum keberatan yang diajukan oleh Soeharto atas pemberitaan itu? “Bila keberatan tentunya bisa memajukan keberatannya ke Dewan Pers, yang semua itu telah diatur didalam UU Pokok Pers”, tukas Dadang kepada Opini Indonesia, Rabu (12/9), di Jakarta.

Dadang juga mengkhawatirkan adanya kebiasaan yang kurang baik yang belakangan muncul, dimana bila terjadi sengketa pers, lantas “ujuk-ujuk” langsung dibawa kepengadilan. Padahal seharusnya hal itu ditempuh dengan mekanisme pers seperti yang telah diatur oleh UU Pokok Pers, dan telah menjadi konvensi internasional diseluruh belahan bumi. Sebab bila kerap masalah pers dibawa kepengadilan maka hal itu dapat diintervensi oleh kekuatan politik.

Reformasi MA gagal ?

Terkait seringnya MA mengeluarkan putusan yang kontroversi, Jhonson menerangkan, bangsa ini memang mereformasi MA dan Kejagung, sebab institusi itu saat ini telah menjadi sarang Mavia. Mereka terang-terang membela Soeharto dan kroni-kroninya. mereka dengan cerdas menggunakan cara hukum yang efektif, dan mengunakan hukum itu untuk merebut kemenangan dari tanggung jawab hukum yang diminta oleh rakyat secara konstitusional. “Institusi kita hancur-lebur, karena tidak bisa merealisasikan keinginan rakyat,” ungkapnya.
Jhonson mencurigai putusan yang dibacakan ketua Muda MA Bidang Pengadilan Militer German Hoediarto, selaku ketua Majelis. “Ada aroma “main sabun” dalam proses ini, sebab yang namanya Militer yang kita tahu, tidak ada yang tidak dibawah pengaruh Soeharto pada waktu itu (Saat Aktif),” katanya penuh curiga.

Menurutnya Hakim Agung itu merupakan hakim agung bermasalah, karena banyak putusan-putusannya diprotes oleh orang yang terkena masalah. Oleh karenyanya, tidak perlu eksaminasi, yang dibutuhkan adalah Putusan PK (Peninjauan Kembali) yang membatalkan Kasasi MA itu. “Karena rakyat sedang menunggu soal transparansi terhadap harta kekayaan Soeharto”, ujarnya dengan nada tegas.

Time dan lawyernya sebaiknya segera melakukan upaya yang maksimal dengan melakukan Peninjauan Kembali (PK). Masyarakat tidak perlu menangisi hal ini, tetapi rakyat harus segera bangkit dan sadar bahwa Soeharto itu sedang menginjak-injak kita, dengan putusan-putusan dan prilaku penegak hukum saat ini. “Jadi rakyat, khususnya pers jangan tinggal diam, bila diam tentunya akan semakin diinjak-injak,” tegas Johson.

Senada dengan Jhonson, Dadang berharap, hal ini dapat dijadikan momentum untuk mengembalikan kebebasan pers seperti pada awal reformasi. Jadi bagi setiap orang yang menginginkan demokrasi di Republik ini, didalamnya Pers maka dengan serta-merta mereka harus mengawal proses demokrasi itu. “Jangan membiarkan demokrasi dan kebebasan pers berjalan sendiri, sehingga harus kita kawal agar “On the Track”, sebab bisa ditelikung ditengah jalan,” pungkas Dadang. (MP)

.

Tidak ada komentar: