Subscribe to my full feed.

Jumat, 02 November 2007

Donald Jadi Tanda Revolusi Bertetangga


Penganiayaan Donald Peter Luther Kolopita


Gelombang reaksi kecaman semakin membesar, akibat peristiwa penganiayaan salah seorang wasit senior karate Indonesia. Donald Peter Luther Kolopita (47) bertugas menjadi salah satu wasit dalam kejuaraan karate se-Asia di Seremben, Negeri Sembilan, Malaysia. Donald dianiaya 4 Polisi Malaysia Jumat (24/8), karena dianggap wajahnya mirip dengan pelaku kejahatan yang diincar aparat setempat. Meski telah dirawat intensif diruang rawat inap 646 B RSPP lantai 6 sejak 27 Agustus 2007. Tim dokter yang menanganinya diketuai Maridi Kartasasmita.

Peristiwa tersebut sempat membuat geram orang seantero Indonesia, sebab bukan rahasia umum, kalau banyak telinga mendengar dan mata melihat prilaku nyeleneh orang Malasia. Kekerasan terhadap TKI di Malaysia, bak menu sehari-hari surat kabar kita. Belum lagi kearoganan Malaysia yang mencaplok pulau Ambalat, tentu masih segar diingatan kita semua. Tensi publik meninggi ketika, ketika terang-terang Malaysia tidak meiminta maaf atas kejadian tersebut. Semburan kemarahan yang keluar dari mulut para Politisi senayan, sempat membakar opini balik, yang ikut mendukung sikap tegas para politisi DPR.

Solidaritas terusik, aksi demo dibeberapa tempat (Medan, Surabaya, Makasar, Singkawang, Pontianak, kedutaan Malaysia di Jakarta) baru-baru ini menyerebak mendengungkan anti-Malaysia, diikuti aksi pembakaran bendera Malaysia, bahkan melakukan sweeping terhadap orang Malaysia, serta ancaman pemboman Graha XL di Yogya, pemboikotan untuk tidak hadir dalam HUT Malaysia ke-50 oleh pejabat negara, sampai pemboikotan produk Malaysia.

Namun sikap datar pemerintah, yang mecoba meredam amarah publik dan paduan suara tenor elite senayan, menuai kecaman pula. “pemerintah kita ini memang banci, banci yang saya maksud tidak pakai tanda kutip. Kita dianggap tidak mempunyai integritas sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Jadi sungguh-sungguh kita tidak mempunyai independensi, kedaulatan yang bagus, dan kita tidak menaruh penghargaan serta penghormatan bagi rakyat kita. Malaysia itu, ketika membutuhkan Indonesia, mereka butuh sejumlah tenaga kerja, lantas kita bantu, namun faktanya mereka memperlakukan TKI, dengan semena-mena”, tegas Ali Mochtar Ngabalin, salah seorang Vokalis DPR, FPBD, kepada Opini Indonesia Rabu (29/8), melalui percakapan telepon.

Pelanggaran transnasional

Hal senada dilontarkan, Nadrah Izahari anggota komisi III DPR-RI fraksi PDIP, “Hal ini tergantung kepada ketegasan pemimpin negara. Bagaimana sebenarnya kerjasama yang dibina pemerintah selama ini dengan kerajaan Malaysia, kalau benar ada kerjasama yang baik tentunya, pertama tidak sampai terjadi penganiayaan, kedua tentunya pemerintah Malaysia mau meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Dengan tidakk mau meinta maaf, artinya bahwa Malaysia merasa dirinya benar, dan Indonesia tidaka dianggap oleh mereka.

Menurutnya, percuma kerjasama selama ini, Malaysia menganggap Indonesia tidak memiliki kredibilitas yang baik dan dimata mereka Indonesia tidak memiliki power. Kalau memang penyelesaian hanya sekedar proses hukum saja, tanpa ada kata maaf dengan prilaku, tindakan yang menyakiti warga negara orang lain. Padahal hampir disemua negara, ada aminan keselamatan warga negara asing melalui UU.

Nadrah menegaskan bahwa perlakuan Malaysia terhadap warga negara Indonesia itu merupakan pelanggaran terhadap transnasional. Yang menjadi pertanyaan besar, Pertama, bagaimana komitmen antara pimpinan negara Indonesia dengan Malaysia? Kedua, bagaimana konkrit bentuk kerjasama Kepolisian RI – Polisi Malaysia? “Bila kerjasamanya hanya bersifat kongko-kongko, ketemu ketawa-ketawa, secara tegas saya usulkan tidak perlu ada kerjasama lagi, percuma karena hanya menghabiskan energi dan uang negara saja”, papar anggota DPR Fraksi PDIP ini.

Agar kedepan WNI dapat dihargai oleh negara asing, Nadrah menilai mesti ada peran aktif KBRI. Agar betul-betul mereka mengetahui penempatan WNI, memantau aktifitas, keselamatan, mengurusi masalah yang menimpanya. Peran KBRI itu sangat penting, namun kita perlu tahu Dubes kita di Malaysia itu tidak ada, belum diisi. Jadi wajar jika banyak kejadian yang menimpa WNI di Malaysia, yang tentunya mengurangi rasa keamanan. Lantas, bila KBRI tidak ada lalu siapa yang akan melayani dan melindungi atau memberikan informasi, akhirnya warga negara kita dapat dihargai keberadaanya dinegara lain.

Ketegasan Sikap

Ketegasan sikap pemerintah dituntut oleh para politisi senayan, “Cara yang terbaik menurut saya adalah, pertama, segera pemerintah mengajukan untuk pemutusan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Kedua, tarik semua diplomat kita dari Malaysia, begitu juga orang-orang Malaysia yang ada dikedutaan Jakarta, usir mereka kembali ke Malaysia,” tegas Ali Mochtar Ngabalin.

Sikap pemerintah harus tegas untuk mengurus kasus ini dan rakyatnya. Jangan ketika ada rakyatnya dibantai, pemerintah tidak berani bersikap tegas. “Masa kita mau terima, kalau orang kita itu disebut “Indon”, yang artinya budak, lanjutnya.

“Kita sangat tersinggung sebagai bangsa Indonesia, kita sangat tersinggung dengan perlakuan Malaysia terhadap WNI disana. Jelas saya keberatan, sebagai anggota komisi I DPR-RI yang membidangi masalah luar negeri, saya keberatan, saya tersinggung dan tidak terima semua ini”, ujar Ali Mochtar Ngabalin dengan nada tinggi.

Ali Mochtar menambahkan, kalau langkah tersebut tidak akan mengganggu bahkan tidak ada urusan dengan ribuan TKI yang bekerja di Malaysia. Karena menurutnya bahwa Malaysia yang berkepentingan dengan Indonesia persoalan kekurangan tenaga kerja. Seluruh hutan kita telah dirampok, pulau kita ingin mereka caplok, jadi memang jelas harus ada sikap tegas terhadap Malaysia.

Meski "Klaim", SBY yang menyatakan bahwa PM Malaysia Ahmad Badawi telah meminta maaf, melalui telepon. Namun beberapa kalangan, menyatakan bahwa pemerintah kurang cerdas menyerap aspirasi masyarakat, tentunya permohonan maaf tersebut kurang afdol, bila tidak disampaikan langsung kepada publik yang ditayangkan melalui televisi. Sebab Pemerintah Malaysia harus meminta maaf kepada masyarakat Indonesia bukan kepada SBY semata.

Peristiwa penganiayaan ini menurut Ali Mochtar Ngabalin memaksa kita berani melakukan evaluasi terhadap hubungan negara-negara yang membuat masalah dengan Indonesia, terutama Malaysia. “Oleh karena itu dsiplomat-diplomat Indonesia jangan diplomat banci, tetapi seharusnya diplomat-diplomat yang mempu mempertaruhkan seluruh harkat dan martabat bangsa kita diluarnegeri,” paparnya.

Agar rakyat Indonesia yang ada diluarnegeri mendapat price, yang itu akan mebuat mereka tenang, diplomat itu wakil pemerintah di luar negeri. “Msebab mereka memiliki wakil pemerintah disana, yang kerap dapat melihat bila ada masalah, dengan segera bisa diurus. Ali menyerukan adanya evaluasi hubungan Diplomatik dengan segera. Bila perlu lakukan “Revolusi bertetangga”, sebagai tindakan tegas pemerintah SBY, terhadap perlakuan “Melayu Petronas”, selama ini kepada WNI. “Tentunya kita tidak ingin sentimen-sentimen anti Malaysia terus disuarakan, karena saat ini rakyat kita sedang terjangkit reaksi sengit, terhadap prilaku Malaysia. Sebelum ada kata maaf resmi kepada rakyat dan penyelesaian konkrit hubungan kedua negara RI-Malaysia,” pungkasnya (MP)

.

Tidak ada komentar: