Subscribe to my full feed.

Minggu, 08 Juli 2007

Hendarman Numpang Lewat?

Reshuffle, rupanya juga menghampiri kawasan Bulungan Jakarta. Presiden SBY mengganti 7 menterinya termasuk orang nomor satu Gedung Bundar, yang diduduki Abdul Rahman Saleh sejak Oktober 2004. Arman digantikan oleh Hendarman Supandji, yang sebelumnya menjabat JAMPIDSUS, identik sebagai orang nomor dua dikorps Adhyaksa tersebut


Silang pendapat pun terjadi tentang pergantian Jaksa Agung itu. Beberapa kalangan berpendapat, hal itu merupakan pelanggaran terhadap UU Kejaksaan ( UU 16/2004 ). SBY dalam statementnya memberhentikan Arman secara hormat dan mengucapkan terimakasih. Akan tetapi didalam UU.16/2004 pasal. 22 menyebutkan, Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dikarenakan ; meninggal dunia, permintaan sendiri, sakit jasmani dan rohani secara terus-menerus, berakhir masa jabatannya. Meski demikian ada beberapa kalangan juga berpendapat pemberhentian itu merupakan hak prerogratif presiden yang diatur oleh UUD 1945.

Mungkin dalam pergantian Jaksa Agung ini presiden memiliki kriteria dalam memilihnya. Publikpun menilai Abdul Rahman Saleh bukanlah sosok yang memiliki prestasi besar. Sebab ketika awalnya Arman ditempatkan sebagai Jaksa Agung, seharusnya dan banyak pihak pun berharap Ia (Arman) lebih dahulu menyapu lantai kotor yang ada didalam kejaksaan. Kenyataannya, Arman orang luar kejaksaan pun tidak mampu melakukan pembersihan itu dilingkungan kerjanya.

Beda halnya dengan Hendarman yang merupakan orang dalam, tentu dia akan merasa sungkan atau merasa tidak enak untuk melakukan pembersihan. Pastinya kadar keobyektifan semakin pudar, sebab subyektifitas Hendarman yang telah mengakar dan mengurat didalam tubuh korps Adhiyaksa tersebut. Tentunya aroma negative bahwa Hendarman malah justru akan melindungi almamater dan anak buahnya, yang kedapatan melakukan kecurangan.

Bukan Kemajuan

Selain penyakit kenker ditubuh kejaksaan, pemberantasa korupsi kelas kakap pun tidak mampu diselesaikan. Kondisi ini jelas berdampak pada keinerjanya dalam penegakan hukum kearah eksternal (keluar). Ketidakmampuan kejaksaan tersebut menimbulkan rasa tidak puas bagi masyarakat. Dengan demikian bila ditarik garis merahnya, wajar bila ada pendapat yang mengatakan bahwa pergantian Jaksa Agung saat ini bukanlah suatu kemajuan. Track Record Hendarman pun gamblang terlihat oleh publik yang tetap tidak puas dikarenakan minimnya prestasi mantan bos Jampidsus ini.

Meskipun publik tetap mengharapkan adanya perubahan dan perbaikan dan bukan semata-mata mengganti pimpinan saja. Oleh karena itu pergantian Jaksa Agung seharusnya menggunakan ukuran-ukuran dan kriteria yang jelas. Sehingga publik pun menangkap ada keseriusan pemerintah dalam penegakan hukum dan memberantas korupsi. Terkesan Pergantian Araman Oleh Hendarman ini hanya sekedar alasan politis semata.

Adanya kesangsian terhadap kepemimpinan Hendarman Supandji, kencang berhembus. Para pengamat dan pemerhati hukum memberi kesan miring, sebab fakta adanya “Tebang pilih” dalam penanganan kasus-kasus korupsi merupakan cermin sifat ambigu korps penyidik ini. Hendarman yang notabenenya orang lama, jelas tahu betul dimana borok yang ada. Dengan sistem birokrasi yang sangat kuat didalam tubuh kejaksaan menjadi alasan utama kesangsian tersebut.

Masalah Hendarman-Taher

Seandainya Hendarman mau menunjukan prestasinya, tentunya ia telah bisa lakukan pembenahan pada saat ia masih menjabat sebagai Jampidsus. Sebagai orang lapis kedua di kejaksaan, seharusnya ia berani menegakan aturan terhadap anak buahnya yang juga menangani kasus-kasus korupsi. Belum lagi kita mengtehui bersama konflik antara Rusdi Taher mantan Kajati DKI Jakarta dalam kasus dakwaan ganda untuk putusan perkara pengedaran 20 kilogram sabu-sabu dengan terdakwa Hariono Agus Tjahyono, dengan Hendarman beberapa saat lalu.
Dari konflik tersebut saja tampak ketidaktegasan seorang Hendarman. Sebab bila Taher memang terlibat dalam kasus itu, seharusnya ia dapat diajukan sebagai tersangka kasus pidana. Dan bila tidak, bisa juga Taher memang benar. Pembuktian dalam hal itu tidak transparan. Dengan contoh kasus itupun dapat membuat masyarakat kurang percaya kepada Hendarman selaku bos gedung Bundar.

Deputi Assosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia, Dorma Sinaga,SH berkomentar tentang Hendarman, menurutnya ia harus berani menunjukan kepada masyarakat sejak awal kepemimpinannya bagaimana membersihakan institusi kejaksaan. Karena bagaimana mau memberantas korupsi, kalau sapu yang mereka pakai adalah sapu yang kotor. “Bisa ngak dia melakukan? Dan paling tidak orang dilevel kedua setelah dia”, sergahnya

Pendapat senada juga disampaikan oleh Hendardi, yang kurang semangat atas pergantian tersebut. Hendarman menurutnya harus membuktikan kerjanya mampu menyelesaikan korupsi kelas “kakap “, seperti kasus BLBI, PLN. Hendarman juga harus memperbesar wewenang wilayah kerja dari lapangan Kejagung yang memulai mempersempit wilayah kerja KPK dan timtas Tipikor. Padahal sebenarnya hal itu mesti dilakukan oleh instansi formal. Bukan dengan komisi-komisi yang bersifat Ad Hoc. “Dengan begitu menunjukan kejaksaan telah mengalami kemjuan”, papar pentolan PBHI yang berkumis tebal itu.

Meski Dorma dan Hendardi sepakat bahwa pencopotan Arman tidaklah melanggar UU kejaksaan. Dengan argumen, mereka tidak melihat UU dengan kacamata kuda. “ masa orang ngak becus, ngak bisa diganti” kalau tidak cakap, masa tidak boleh diganti? Secara subtansi persoalannya, bukan karena orang itu tidak bisa diganti atau tidak. Namun disisi lain ada juga dengan hak prerogratif presiden.

Meski demikian, kedua street lawyers ini tetap mengutarakan harapannya kedepan kepada jaksa agung yang baru. Keduanya berharap, Hendarman mau bersikap transparan dan independen dalam melakukan pengusutan dan penuntasan kasus-kasus korupsi. Ini bisa dijadikan uji coba Hendarman untuk mau kembali melakukan penuntutan terhadap kasus Soeharto. Bila dia tidak bisa melakukan itu, artinya jelas ia tidak beda jauh dengan Arman. Atau bahkan lebih parah lagi.

Dari trac record Hendarman di Timtas Tipikor terbukti dari puluhan bahkan ratusan kasus krupsi mungkin bisa dihitung dengan jari berapa kasus yang masuk ke sidang pengadilan tindak pidana korupsi. Pria kelahiran Kelaten selama ini belum ada prestasinya samasekali. Uang yang di korupsi itu adalah uang rakyat, uang itu harus bisa dikembalikan. Bila Hendarman tidak bisa mengambalikan uang itu, maka ia tidak pantas untuk duduk jadi Jaksa Agung. Sebagai pendatang baru, jangan ia (Hendarman) hanya sekedar lewat saja tanpa memberi kesan dan tak melakukan apa-apa. Rakyat menanti kiprah si anak baru! (mp)
.

Tidak ada komentar: