Subscribe to my full feed.

Minggu, 08 Juli 2007

Grasi Anggota KPU,
Erosi Shock Terapi


Dari dalam bui, Anggota KPU Mulyana W Kusuma, yang terjerat kasus korupsi minta ampunan presiden. Ampunan itu sepadan dengan jasa anggota KPU menyukseskan gawe besar Indonesia, Pemilu.

“Tak mungkin ada asap, bila ada tak ada api,” begitu mungkin perdebatan yang muncul seputar terkait muasal permohonan grasi bagi para terpidana kasus KPU. Entah siapa yang memulai meniupkan permohonan grasi tersebut? Seakan mulai mengganggu gengsi institusi KPU yang telah dibanderoli “reputasi kotor” oleh publik. KPU seakan malu untuk mengakui bila hal itu berasal dari korpsnya.

Anggota KPU, Ramlan Surbakti mengatakan dalam pertemuan anggota KPU dengan Presiden SBY diakui menyinggung soal amnesti. Tentang siapa yang pertamakali mencetuskan, Ramlan mengatakan Presiden SBY yang pertama mencetuskannya.
“Presiden menyatakan tidak mempunyai kewenangan intervensi putusan pengadilan, tapi presiden punya hak untuk memberikan amnesti, rehabilitasi dan grasi. Kalau KPU punya usulan bisa disampaikan ke presiden,” terang Ramlan.
Selimut misteri terkait permintaan amnesti/grasi pada anggota KPU, memang masih berjalan samar. Namun adanya rilis mengenai permintaan amnesti bagi anggota KPU telah ber edar dikalangan para “kuli tinta” Istana saat setelah tiga anggota KPU bertemu presiden SBY. Rilis tersebut dibagikan oleh seseorang berseragam KPU.
Namun isu tersebut menjadi terang setelah Mulyana menyatakan kepada media bahwa dirinya dan beberapa anggota KPU lainnya akan segera mengirim secara kolektif permohonan grasi tersebut. Dan menyambut positif pernyataan wapres Jussuf Kalla soal grasi. Setelah itu baru akan mereka ajukan secara individual.
Sehubungan dengann permohonan grasi tersebut, banyak pihak yang terjangkit reaksi sengit, mereka menolak pemberian grasi oleh presiden. Deputi Assosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia (APHI) mengatakan, menurutnya hal tersebut sangat tidak pantas dan merupakan pelanggaran etika. Karena hukum merupakan suatu bentuk faktual daripada etika itu sendiri.
Meski itu merupakan hak istimewa prsiden dan juga si terpidana pun memiliki hak untuk memohon grasi. Lantas tinggal bagaimana sikap presiden saja. Mengabulkan atau tidak? Namun jika dalam persoalan ini secara hukum telah terbukti melakukan tindak pidana, yang kemudian presiden tetap memberikan grasi tersebut , maka dengan sendirinya hak istimewa itu digunakan langsung oleh presiden SBY untuk melukai keadilan masyarakat, sehubungan janji SBY dalam pemberantasan korupsi.

Rawan
Bila memang demikian, hak istimewa yang dimiliki oleh presiden untuk memasuki wilayah hukum itu digunakan, dengan pertimbangan yang dianggap etis oleh presiden maka hal tersebut menjadi sesuatu yang berbahaya dan rawan kedepan. Sebab pola itu dapat dimanfaatkan bagi semua koruptor yang ada sejak dulu hingga sekarang untuk meminta grasi. Dan ini tentu sangat menyakitkan hati rakyat Indonesia yang telah menderita karena korupsi yang ada selama ini”, tutur Dorma “Kodong” Sinaga, salahsatu pentolan APHI kepada Opini Indonesia
Komentar yang keraspun disampaikan oleh “vokalis” PBHI, Jhonson Panjaitan,SH kepada Opini Indonesia. “ Bagi saya tentunya, bila kita berbicara hak-hak, memang itu juga hak daripada narapidana dan disitupun terdapat hak perogratif presiden. Tetapi bila kita melihat kelakuan dari para pejabat negara saat ini yang semakin korup karena mulai “Discanner”, yang ternyata banyak rekening liar. Ini memperlihatkan bahwa sebenarnya apa yang dikatakan pemberantasan korupsi itu, jelas masih merupakan lips service.
Masih belum menyentuh subtansi, sebab kenyataannya memang negara/pejabat-pejabat masih menjadi pemain utama dalam terjadinya korupsi dinegara ini. Karena itu, pemberian grasi kepada koruptor itu, tidak boleh dilakukan. Itu sama saja dengan, menjelaskan kepada masyarakat bahwa para koruptor masih diberikan fasilitas politik, yang memang itu dimiliki oleh pemerintah. Sebab lain dikarenakan, memang pemerintah merupakan pemain utama dalam proses korupsi yang terjadi,” sergah Jhonson dengan nada tegas.
Ditempat lain, direktur bantuan hukum dan advokasi YLBHI, Taufik Basari menanggapi hal tersebut dengan lebih bijak. “Pertama, grasi itu merupakan hak setiap orang untuk diajukan. Termasuk pula Mulayana dkk dalam kasus KPU ini. Namun justru grasi itu merupakan suatu pengakuan kesalahan. Artinya, apabila mereka mengajukan grasi itu, maka memiliki arti bahwa mereka yang mengajukan itu telah mengakui kalau mereka berbuat salah.
Menurutnya, ada point penting yang bisa kita ambil dari keinginan Mulyana cs, meminta grasi itu. Dengan adanya itu maka bagi saya kita akan menjadi pembelajaran untuk KPU kedepan bahwa memang orang yang ada di KPU itu telah mengakui bila mereka salah. Sehingga mereka meminta grasi”, tegas Tobas panggilan akrab Taufik Basari.
Lebih jauh Tobas menambahkan, bahwa grasi itu suatu kewenangan yang dimiliki presiden, ketika ada orang yang bersalah yang telah menyesali perbuatannya, kemudian ia memohon ampun. Mereka menyesali, mereka ingin diampuni sehingga mereka mengajukan pengampunan itu, dan itulah yang disebut Grasi tadi.

Standarisasi Grasi
Bagi kalangan praktisi hukum, bahwa ada persoalan dan kelemahan terkait “Standarisasi” pemberian grasi oleh presiden. Hingga saat ini memang belum ada ukuran-ukuran yang jelas bagi presiden untuk memberikan grasi. sebab itu hal ini mesti disikapi oleh parlemen untuk membuat aturannya. Bila tidak, dikhawatirkan akan menjadi ukurannya adalah subyektifitas presiden semata.
Meski ada beberapa aturan tertulis, seperti “Apakah hukuman yang dijalani terdakwa telah dianggap cukup, dalam arti terdakwa telah menjalani separuh dari hukuman yang telah diputuskan pengadilan? Apakah si terdakwa berkelakuan baik selama menjalani hukuman?”, namun disisi lain masih samarnya soal, “Jenis tindak pidana apa yang berhak menerima grasi tersebut?”
Disisi lain “Kacamata Politik”, masyarakat dalam hal ini, adanya kesan konflik politik presiden dengan anggota KPU. Dengan divonis dan diputusnya Mulyana cs ini, maka secara politik bahwa pemilu pada 2004 itu akan dipertanyakan. Maka dari sisi hukum saja anggota KPU tersebut telah dinyatakan bersalah secara hukum dan telah diberikan sanksi pidanannya maka secara otomatis hasil pemilu itu secara hukum dapatkah dinyatakan batal?
Dampak bergelombang yang akan semakin membesar akan muncul jika presiden tetap memberikan grasi kepada para terdakwa Mulyana cs. Terlepas adanya “diel politik” didalamnya. Namun masalah ini terkait erat pada persoalan pemilu yang akan datang. Publik akan semakin tidak percaya akan berjalannya demokrasi kedepan. Rakyat telah mengetahui dalam kasus ini bahwa pelaksanaan pemilu dapat dipastikan berjalan dengan tidak fair. Dengan demikian sikap skeptis masyarakat terhadap proses demokrasi (pemilu) mendatang akan semakin besar. Karena grasi tersebut mengerosi shock terapi penegakan hukum.
Keberatan beberapa anggota DPR pun dapat mendatangkan dampak bagi presiden bila kekeh memaksakan memberi grasi kepada Mulyana cs. Keberatan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk hak interpelasi. Terlepas apakah memang benar keseriusan para anggota DPR menyikapi tindakan presiden tersebut. Apakah benar-benar serius DPR ingin menginterpelasi? Bukti hangat, hak interpelasi DPR soal Iran masih tampak plin-plan. Namun demikian “Bola panas” grasi ada ditangan presiden. Banyak mata akan menyaksikan bagaimana “finishingtouch” SBY terhadap “Bola Panas”bernama grasi! (MP)

.

Tidak ada komentar: