Subscribe to my full feed.

Senin, 09 Juli 2007

Dua Watak Intelijen

Reformasi di bidang intelejen banyak dituntut oleh kalangan politik Indonesia. Mengingat intelijen yang kerjanya tertutup susah dimintai pertanggungjawaban kerja-kerja baik dalam penangan dan deteksi dini keamanan Negara. Namun yang menjadi masalah, dalam sejarah orde baru intelijen dalam hal ini BAKIN dan BAIS menjadi lembaga yang sangat menakutkan masyarakat Indonesia. Terutama kalangan aktifis politik, aktifis sosial keagamaan, LSM yang selalu menjadi sasaran pengintipan, penanganan dan bahkan penangkapan mereka


Lalu lembaga intelijen menjadi satu lembaga yang menakutkan masyarakat. Apa lagi selama ini fungsi intelijen lebih bersifat memata-matai kegiatan soail-politik masyarakat. Kegiatn intelijen banyak dkendalikan oleh kepentingan-kepentingan politik tentara, tindakannya lebih banyak bersifat represif kedalam. Lembaga intelijen kemudian bertindak sebagai aparat kepanjangan penguasa yang menjalankan politik otoriter.

Bahwa intelijen itu berperan sebagai pendeteksi dini untuk pengamanan Negara barangkali dapat diterima oleh kelompok masyarakat Indonesia. Akan tetapi bila fungsi itu dijadikan sebagai dalih untuk menyingkirkan kekuatan social-politik yang kritis terhadap pemerintah, ini yang menjadi persoalan besar dalam lembaga intelijen Indonesia.

Debat tentang RUU Intelijen masih hangat dalam ranah publik, lantaran RUU ini baru rancangan, masih ada kemungkinan publik untuk membongkar mater-materi yang akan mengarah pada tindakan-tindakan yang meugikan dimasa depan.

“Intelijen tidak butuh RUU yang Pasti”

Apa latar belakang penyusunan RUU intelijen ?

Jadi orientasi RUU Intelegen itu adalah agar terbentuk suatu wadah kordinasi, termasuk, merekontruksi badan-badan Intelegen kedalam suatu badan’ yang bernama “Komunitas Intelegen Negara LKIN atau Lembaga Intelegen Negara. Usulnya pun sudah ada yaitu BIN ( Badan Intelijen Negara ), BIS ( Badan Intelijen Strategis ), BIK ( Badan Intelijen Kepolisian ), LSN ( Lembaga Sandi Negara ), BNN ( Badan Narkotika Nasional ), SAS ( Search And Service ), BATAN, LAPAN, LEN, Intel Kejaksaan, Intel Bea Cukai, Intel Imigrasi, Intel Tempur dan Intel Militer.. Spiritnya ini adalah “Rekonstruksi” atau awalnya itu ketika terjadi peristiwa “Twins Tower Attack” pada tanggal 11 September; dimana Amerika mengambil inisiatif untuk menggabungkan 13 komunitas Intelejen serta untuk mengumpulkan “Human Intelegen” dan “Tehknologi Intelegen”. Nah itu menjadi suatu wacana yang mendunia, makanya hampir disemua Negara akhirnya ingin melakukan hal yang sama sebagai tren baru, agar ada integral seperti itu. Maka dari itu dibuatlah RUU Intelijen tersebut.

Apakah kebutuhan RUU tersebut sudah diikuti atau sesuai dengan perangkat-perangkat Intelijennya ?

Sebenarnya, dalam praktek keluhanya itu cuma satu saja yaitu “Financial” iya kan, karena dari dulu itu memang persoalannya itu. Sebab biaya untuk itelejen itu berasal dari dana Non Budgedter jadi semuanya itu berteriak untuk meminta peralatan intelijen, pendidikaan intelijen, pengembangan sumber-sumber Manusia, sumber teknologi. Jadi boleh dikatakan komunitas Intelegen itu tidak membutuhkan sebuah RUU yang pasti, karena mereka sudah bergerak dengan rencana-rencana operasi yang telah dibuat oleh instansi-instansi mereka.

Jadi kalau memang seperti itu, sebernarnya RUU Intelegen itu tidak terlalu dibutuhkan ?

Iya, memang tidak dibutuhkan hanya mereka takut untuk dileburkan saja. Yang 13 lembaga tadi dileburkan dan lama dikordinasi, karena masing-masingnya mempunyai kode etiknya sendiri-sendiri.

Apa kira-kira pengaruh positif negatif terhadap proses demokrasi bila RUU disyahkan menjadi UU ?

Yang menjadi persoalan bahwa sejarah Intelejen, badan Intelijen seperti Komando Intelijen Negara yang dianggap refresentatif dari Badan Intelijen Bela Negara tetapi bukan tipe, bukan bentuk dari Badan Intelegen Rezim. Tapi ketika KIN berubah menjadi BAKIN maka itu adalah cikal bakal dari sejarah yang menjadi trauma, karena itu yang menjadi awal soal “INTEL REZIM” yang lalu menggunakannnya. Yang menjadi trendi yaitu menjadi trauma terhadap demokrasi politik adalah dimana terjadi transformasi dari kerjaan Komando Inteleien Negara menjadi Badan Kordinasi Intelijen itu dianggap sebagai super power dalam intelijen, yang dianggap waktu itu dan yang dipakai atau digunakan oleh rezim yang berkuasa. Ketika perannya untuk melawan anasir-anasir LSM, baik aktifis sosial kemasyarakatan, partai politik, kelompok-kelompok agama atau masyarakat-masyarakat grassroot.

Apa ada pengaruh positifnya ketika RUU intelijen disyahkan terhadap Perangkat Intelijen Rezim saat ini ?

Sebenarnya kalau dilihat dari sisi positifnya bahwa Badan Intelijen itu bisa dimintai pertanggung jawabannya oleh refersentatif atau Parlement seperti itu. Bedanya dengan pola yang lama karena dibandingkan dengan yang lama itu tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya apabila ada kegiatan-kegiatan yang dianggap membahayakan politik yang resmi.

Bagaimana cara membatasinya ?

Umpamanya, bahwa kebebasan berpendapat dan segala macam, komunitas-komunitas politik, kebudayaan memang sangat takut terhadap Intervensi Intelijen negara terhadap pengintaian, penyadapan atau operasi-operasi yang sudah memasuki wilayah-wilayah pribadi. Karena 30 tahun rakyat menganggap itu menjadi luka sejarah, sehingga itu menjadi trauma dan sehingga mereka ingin membatasinya.

Aturan mainnya bagimana untuk merubah Intelijen rezim untuk menjadi Intelijen yang berwatak Negara ?

Yang menjadi persoalan bahwa, USA mengambil inisiatif, John Bone Ponte, sebagai anggota parlemen yang membawahi Komisi Intelijen, diambil sebagai pemimpin dari NSS ( National Srceet Service ) karena dia dianggap bisa membuat suatu bingkai Intelijen.

Apakah di Indonesia juga diberlakukan seperti itu ?
Yang jadi persoalan, siapa sih yang bisa mengendalikan langsung Komunitas Intelijen itu ? siapa yang mau membiayai ? Negara atau aktor-aktor politik, aktor-aktor country, atau Increuddle atau Badan Intelegen Asing ?

Kalau menurut anda ?

Iya, macam-macam, tergantung darimana ordernya! Misalnya, ada persoalan penculikan, kemudian muncul opini ini siapa yang menculik ? iya kan ngaku saja? kira-kira kan begitu !

Kembali kebelakang, apa latar belakang penyusunan RUU Intelijen itu ?
Pengen ditata, ingin ada Rekstrukturisasi terhadap Badan Intelijen.

Apa tidak ada persoalan didalam Intelijen sebelum dan sesudah peristiwa Bom Bali dan bom di beberapa kedubes yang ada di Indonesia ?
Iya trendnya yaitu sejak peristiwa Twin Tower Attack atau Black September di Amerika. Lalu anggapan Negara lain bahwa, negara besar seperti USA saja bisa jebol, apa lagi negara seperti Indonesia!

Tadi anda bilang RUU Intelijen itu sebenarnya tidak terlalu penting; tapi USA ada “Patron Act” di Malaysia ada “Seccurity Act” di Indonesia apakah RUU Intelijen ini menjadi hal subtansi untuk proses keamanan Nasional begitu ?

Oh itu adalah persoalan “Strategi Inetelijen”, itu menyangkut strategi. Kalau ini mengenai peraturan, jadi tidak memiliki kaitan langsung dengan strategi gitu loh! Karena pendekatan “Extra yudicial Killing” itu kan operasi tertutup yang bersifat “Cut Of”, bisa juga pimpinannya tidak tahu, seperti itu apakah intelijen itu harus mempertanggung jawabkan dari bawah keatas begitu, ataukah hanya selama ini anak buah dilapangan yang harus dimintai pertanggung jawabannya ?

Berarti tidak ada kolerasinya antara RUU Intelijen dengan operasi Intelijen ?

RUU ini sebenarnya dalam rangka untuk menyesuaikan dengan medan atau menyesuasikan diri dengan tantangan.

Termasuk untuk membatasi kerja-kerja intelijen ?

Iya, termasuk untuk membatasi kerja-kerja Intelijen untuk melindungi masyarakat sipil dan prinsif-prinsif demokrasi. Yang penting saat ini adalah bagaimana membangun situasi kebangsaan dimana juga komunitas-komunitas Intelijen, komunitas-komunitas seccurity, komunitas Ekonomi itu bisa bekerja sama.

Apakah ini sebetulnya diteruskan untuk mengarah kepada otoritarian Orde Baru atau kembali kebentuk lama lagi ?

Iya, tadi itu trendnya adalah setelah ada peristiwa Bom Bali dan kemudian beberapa pimpinan teras badan Intelijen meminta dan mengimbau, meyakinkan kepada pimpinan Negara agar badan-badan Intelijen mempunyai payung hukum, yang memberikan pembenaran kepada operasi mereka. Itu sudah diketahui sejak awal bahwa kepala BIN waktu itu ( Hendropriyono) yang mencoba meyakinkan dan melobi pimpinan Negara dan juga dilakukan kepada publik., nah dagangan Hendropriyono ini belum laku, sampai saat ini maka dianggap bukan suatu kondisi (mp)
..

Tidak ada komentar: