Subscribe to my full feed.

Jumat, 02 November 2007

ASTRO, Penuh muslihat Diusia Kencur



.Monopoli Astro & Lenyapnya Liga Inggris

Penuh Muslihat Diusia Kencur

“ Malaysia terus menebar sikap arogan kepada Indonesia, TKI dipukuli, Wasit Donald dipukuli, sekarang masyarakat pecinta bolapun ikut “dipukuli”, dengan monopoli Astro terhadap siaran liga Inggris”, teriak Sahrin salah seorang pendemo beberapa pekan lalu didepan gedung Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkoinfo), Jumat (31/8/2007). Bukan karena peristiwa Donald Pieter Kolopita, gelombang aksi terhadap perusahaan Malaysia bernama Astro semakin marak. Telah dua bulan, sampai kini gelombang aksi penolakan terhadap Astro merebak, dibeberapa daerah di Indonesia. Kebanyakan para pengunjuk rasa, keberatan dengan sistem tayang bayar (berlangganan) yang diterapkan, yang diikuti penutupan saluran dibeberapa tv satelit lain, semisal Indovision dan Kabelvision, yang sebelumnya menayangkan juga siaran liga Inggris.

Astro salah satu industri televisi berlangganan yang hadir sejak 28 Februari 2006, yang diprediksi saat ini memiliki sebanyak 100.000 pelanggan di Indonesia. Astro menyiarkan langsung program siarannya dari Malaysia kepada pelanggannya di Indonesia melalui satelit Measat. Sehingga siaran tersebut tidak bisa disensor oleh badan yang berwenang di Indonesia. Seharusnya setelah menerima gelombang yang berisi materi siaran dari satelit Measat, Astro menggunakan satelit Indonesia, agar dapat disaring. Sebab dalam undang-undang penyiaran mewajibkan siaran di downlink dari satelit asing kepemancar yang ada di Indonesia, kemudian di up-link lagi ke satelit, setelah itu baru dipancarkan kerumah pelanggan, agar tersensor.

Meski tahun silam kasus Astro sempat mencuat, namun persolan itu diam-diam lenyap, ada apa? Meski KPPU menyatakan tidak ditemukan pelanggaran, tapi banyak pihak menaruh curiga dengan “Menguap” kasus Astro tersebut. Ketidak tegasan pemerintah dalam menerapakan UU Penyiaran dan sanksi menjadi titik lemah yang dimanfaatkan para pengusaha telemedia, untuk mencari laba di Indonesia.

Secara mendasar ada hak masyarakat yang terabaikan jika mengacu kepada UU Penyiaran yang ada. Dimana dalam UU Penyiaran menyebutkan, bahwa siaran yang ditayangkan televisi harus membawa nilai sosial, budaya serta memiliki nilai nasionalisme. Point-point tersebut harus diwujudkan oleh televisi, yang artinya ini semata-mata bukan hanya urusan bisnis. Jelas, kutipan UU tersebut menyatakan bahwa bidang televisi tidak hanya semata-mata mementingkan ekonomi tetapi ada hal sosial budaya dan nasionalisme kebangsaan dan kesatuan.

Untuk melindungi semua nilai-nilai tadi, maka UU itu ada. Astro yang mengkampanyekan bahwa mereka boleh menguasai siaran dengan alasan bisnis, tanpa perduli nilai dan aspirasi publik. Kurang aspiratifnya Astro, berujung menjadi masalah, yang pada tahun 2006, Astro memarkir satelitnya diwilayah Indonesia tanpa ijin. Kemudian, saat ini Astro memonopoli siaran liga Inggris yang juga menuai protes masyarakat. Kesan Astro yang kerap melakukan pola “Tricky” dimata pengamat pertelevisian, membuat hawa gerah persaingan. Untuk itu sikap tegas pemerintah untuk memproteksi kepentingan publik.

Meski statemen menkoinfo, M Nuh (5/9) yang menyatakan akan meminta pihak Astro agar mau membagi tayangannya ke televisi lokal. Namun hal yang serupapun telah dilakukan pihak pemerintah, yang diketahui Astro akan tetap akan memberikan harga yang tinggi, sehingga tv-tv lokal tidak akan sanggup. “ menurut saya itu hanya akal-akalan saja kalau, yang sampai saat ini belum ada kejelasannya. Tapi sebenarnya pemerintah bisa meminta pembagian hak siar, bisa juga PSSI untuk meminta kepada FA (PSSI nya Inggris) sebagai lembaga yang sejajar. PSSI dapat mengatakan persoalan yang terjadi di Indonesia, banyak penggemar liga Inggris di Indonesia yang kecewa dengan sistem monopoli Astro. Sebab dengan pola demikian liga Inggris akan kehilangan jutaan penggemar karena tidak lagi ditayangkan di tv lokal” ucap Anton Ratumakin, pengamat pertelevisian kepada Opini Indonesia, Rabu (5/9).

Anton menambahkan,bahwa dengan PSSI meminta keterangan kepada FA, tentu apa yang terjadi sebenarnya publik akan tahu. Hak bertanya tersebut tujuannya tentu bukan lagi bicara tentang “Bisnis to bisnis”, tapi menjadi urusan yang lebih besar dari masalah bisnis, yakni urusan negara-pemerintah. Jangan pula ada pihak yang mementingkan diri sendiri karena hal bisnis, yang kenyataannya membuat orang banyak dirugikan.

Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam masalah ini. Anton pun menyarankan akan pentingnya dilakukan “Hearing Publik” bersifat terbuka. Tidak hanya kesepakatan mereka saja (pemerintah-Astro), karena jelas publik harus dilibatkan karena mereka yang dirugikan. Hering Publik ini dapat digelar di DPR, yang tentunya anggota dewan dapat memanmggil pihak terkait, seperti Trans 7 yang semua menyiarkan, Astro, Indovision, PSSI, Depkoinfo, mereka harus “Sear” kepada publik di DPR. Kesimpulan ataupun data yang tertulis yang diperoleh dari Hearing, dapat menjadi dokumen resmi dan dapat dijadikan acuan kedepan sistem penyiaran kita.

Kutipan Pasal 33 UUD 1945 (Amandemen), “ Bumi tanah, air, udara dan yang terkandung didalamnya, harus digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat”, telah mungkin telah dilanggar pihak Astro yang menempatkan satelitnya diwilayah Indonesia, jika penggunaannya tidak sesuai kepentingan rakyat. Sma halnya dengan UU Penyiaran, yang mana dibuat untuk melindungi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang sehat dan memiliki nilai kebangsaan. Tentu jelas, pertelevisian itu ada bukan hanya sebatas urusan bisnis saja. Betul semua orang boleh melakukan bisnis, tetapi bila bisnis itu menimbulkan dampak kepada masyarakat, apa kita akan membiarkannya?

Kita sebagai haruslah paham, bahwa sebenarnya masayarakat menonton tv tidaklah gratis. Publik menonton dibiayai sponsor. Sponsor yang membeli nilai kekonsumenan publik. Sama seperti Astro membeli liga Inggris dari StarGroup, ESPN, dapat dipastikan Astro menjual publik Indonesia karena mereka tahu potensi pasar yang sangat besar, jelas dalam hal ini ada pertukaran kepentingan. Namun karena tingkat persaingan didunia pertelevisian semakin ketat, Astro sebagai tv baru yang dinegerinya Malaysia tidak kebagian pasar, karena telah penuh. Di Malaysia pelanggan tv satelit telah mencapai 3 juta pelanggan, sehingga Astro masuk ke Indonesia. Di Indonesia jumlah pelanggan tv satelit baru mencapai 600.000 pelanggan, dari potensi 20 juta pelanggan. Saat ini Indovision memiliki 300.000-an pelanggan, Kabelvision 200.000-an, dan Astro baru 100.000. Artinya, baru 4% saja dari jumlah 20 juta potensi calon pelanggan tv satelit.

Saat ini Astro mencoba mengejar ketertinggalannya dari tv lain, dengan jalan pintas, yakni dengan cara memonopoli. Dalam waktu dekat ini Astro mengejar target 1 juta pelanggan. Hal itu sangat mungkin terjadi, sebab Astro telah lebih dulu mempelajari, acara apa yang palinmg populer di Indonesia. Setelah itu Astro menutup tv-tv satelit lain sebagai pesaingnya. Dengan begitu jelas Astro akan unggul, menurut in-sider Opini tersiar bahwa ada sekitar 40.000 pelanggan telah antri untuk mendapatkan dekoder Astro.

Terkait hal itu, Anton menanggapi, “Saya dan kawan-kawan mengimbau kepada pelanggan Astro untuk memulangkan dekoter yang didapat. Sebab, ngapain juga kita mau mensupport suatu bisnis yang jelas-jelas merugikan saudara kita sendiri, karena banyak saudara kita yang tidak mampu menikmati karena tak ada biaya. Dan itu hanya menguntungkan pihak luar yakni Malaysia”, tegas Anton.

Anton pun berharap, tv-tv yang ada saat ini tidak hanya memikirkan marketing saja, tapi harus juga berpikir apa yang baik untuk masyarakat dan nilai kebangsaan. Jangan otaknya tv itu hanya uang saja..! kok semua jadi pedagang, seharusnya tv kita bukanya untuk pedang tetapi untuk para broadcaster. Jadi jangan mikirnya uang, rating…uang rating! Yang sebenarnya banyak program yang mempunyai nilai educasi bisa laku. Faktanya, seperti Metro TV, hanya bicara news (berita), TV nya tetap hidup. (MP)

Tidak ada komentar: