Subscribe to my full feed.

Jumat, 02 November 2007

Keseriusan Menjadi Awan Gelap


Perlindungan Saksi dan Korban


Pemerintah masa bodo terhadap perlindungan saksi dan korban. Tidak ada itikad pemerintah menyelamatkan saksi dan korban. UU pun telah dilanggar.

Bila suatu Undang-Undang lahir itu adalah buah kesepakatan antara DPR dan pemerintah. Dengan argumen itu, sebenarnya tidak ada dalih yang kuat bagi pemerintah untuk tidak menjalankan perintah Undang-Undang. Sebab semua orang pun tahu, bahwa setiap pejabat negara bersumpah atau berjanji akan melaksanakan Undang-Undang. Nyatanya pemerintah sering mengabaikan perintah Undang-Undang yang telah disepakati bersama dengan DPR. Kok bisa?

Memang UU Perlindungan saksi dan korban ini telah dikembangkan, dibahas oleh DPR kemudian mereka sahkan. Namun dalam prosesnya memang penuh masalah, artinya ada ketidakseriusan pemerintah terhadap isu perlindungan saksi dan korban. Meski kita tahu, bahwa isu soal perlindungan saksi dan korban itu telah cukup lama dibahas di DPR, kira-kira 2 - 3 tahun dibahas. Kemudian setelah disahkan DPR, presiden juga butuh waktu lebih dari 1 bulan hanya untuk memberikan nomor terhadap UU tersebut.

Kemudian UU ini memerintahkan agar lembaga-lembaga penegakan hukum dibentuk setelah satu tahun UU ini disahkan, yang dibentuk pada tanggal 11 Agustus 2006. Pada tanggal itu seharusnya lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) ini sudah terbentuk. Upaya itupun tidak dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, banyak pihak terutama kalangan LSM menilai pemerintah telah lalai dan tidak serius terhadap persoalan ini. Secara tegas pemerintah tidak bisa menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh UU.

Pandangan publik menilai bahwa pemerintah tidak perduli dan masa bodo terhadap perlindungan saksi dan korban. Itu dikuatkan dengan kenyataan LPSK ini yang belum terbentuk pada tanggal 11 Agustus 2007. Ditambah pernyataan ketua panitia seleksi yang mengatakan bahwa pemerintah tidak menganggarkan dana untuk pembentukan lembaga ini. Ini tampak dalam rancangan perubahan APBN, memang tidak ada, tidak tercantum anggaran itu.

Dana sebesar Rp.3,704 miliar akhirnya cair digunakan merekruit anggota LPSK. Dengan harapan panitia ini kredibel sehingga dapat menghasilkan orang-orang yang kredibel pula. Namun harapan publik, penggunaan dana ini haruslah transparan. Setiap pengeluaran harus ada pertanggungjawabannya, dan yang terpenting harus ada keterlibatan masyarakat dalam hal ini terutama dalam hal pengawasan.

Pemeritah lalai

Meski telah terbentuk panitia seleksi yang jelas juga lambat dibentuk, dapat dipastikan merekapun tidak dapat bekerja karena tidak adanya dana. Lantas yang menjadi ‘kunci masalah’ adalah itikad pemerintah, yang mana pemerintah begitu tidak serius, sampai-sampai sudah lambat pemerintah tidak menganggarkan dana untuk ini, padahal itu merupakan kewajiban yang harus dijalankan. Seharusnya kebutuhan LPSK ini berkaitan dengan penegakan hukum, nyatanya saksi dan korban yang ada dimana-mana posisinya selalu terancam. Sehingga pembentukan lembaga ini menjadi salah satu solusinya.

Berkenaan dengan keterlambatan pembentukan LPSK ini, salah seorang aktivis ELSAM, Amirrudin menyatakan kepada Opini Indonesia Selasa (15/8) melalui percakapan telepon, “Pertama, menurut saya memang tidak ada keseriusan pemerintah untuk mengurusi lembaga ini. Yang ini tampak dari belum adanya anggaran, belum dibuatnya keppres atau Peraturan pemerintah (PP) yang harus dibuat. Kedua, sepertinya LPSK ini tidak dianggap penting oleh pemerintah.

Oleh karena itu, pemerintah mencoba mengulur-ulur waktu berharap orang akan tidak lagi perduli akan pembentukan lembaga ini. Ketiga, desakan terhadap berdirinya lembaga ini juga tidak terlalu banyak. Hal ini juga membuat situasi pembentukan LPSK ini berjalan lambat. Ini berbeda dengan KPU ataupun KPK, yang lantas semua orang merasa berkepentingan, semua orang punya respek yang tinggi. “Tetapi kalau LPSK ini betul-betul untuk mengurus nasib orang-orang yang dirugikan oleh perlakuan pengelola republik ini. Makanya dukungan untuk ini tidak banyak, dan saya sangat menyayangkan hal itu,” papar Kordinator Divisi Promosi ELSAM, Amir.

Terkait amanat UU No.13 tahun 2006, yang belum dijalankan pemerintah, Taufik Basari,SH yang akrab dipanggil Tobas menjelaskan, “Pemerintah tidak paham akan amanat itu, bahkan tidak perduli terhadap isu ini. Bila pemerintah perduli berarti pemerintah serius. Tentunya terlihat dengan terlambatnya pembentukan lembaga LPSK ini,” terang Kordinator Advokasi Hukum YLBHI itu, Selasa (15/8) malam.

Lebih jauh Tobas menambahkan, bahwa dirinya bersama koalisi LSM dan NGO akan melakukan pula langkah hukum apabila memang pemerintah samsekali tidak mau menjalankan amanat UU No.13 tahun 2006. Koalisi NGO ketika UU disahkan telah mengultimatum pemerintah agar tidak sampai ada keterlambatan, LPSK ini belum dibentuk.

Kemudian koalisi LSM juga telah melemparkan surat agar pemerintah membentuk panitia seleksi. Dan ketika panitian telah terbentuk, koalisi NGO pun telah mencoba mengingatkan kembali akan panitia seleksi dipastikan telah ada. Dengan begitu banyak surat dan upaya kunjungan untuk mengingatkan agar jangan sampai ini terabaikan. Akan tetapi tetap saja pemerintah mengabaikannya.

Tentunya koalisi pengawal LPSK ini tetap memperhitungkan soal langkah hukum apa yang akan diambil, tentunya akan memperhitungkan langkah yang paling efektif. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya sudah terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Kenapa? Karena tertera jelas perintah UU pembentukan LPSK ini pada tanggal 11 Agustus 2007. Faktanya sampai saat ini belum terbentuk juga. Artinya, jelas bahwa pemerintah telah melanggar UU dengan tidak menjalankan kewajibannya yang diatur didalam UU tersebut.

Cukup Signifikan

Amirrudin menilai, bahwa peran sentral dan urgensinya LPSK ini sangat mutlak. Oleh karena itu, dalam sisi perkembangannya lembaga ini sangat penting. LPSK ini bisa membantu kerja KPK, Komnas HAM, Pengadilan, Kejaksaan dan juga Polisi. Bukankah lembaga ini cukup signifikan? Akan tetapi dianggap kecil oleh orang yang seharusnya menjalankannya, yaitu pemerintah. Tentunya ini menjadi problem. Seharusnya lembaga ini segera terbentuk bila memang ada niat untuk memberantas korupsi, membersihkan pengadilan dan niat untuk menjalankan pemerintahan yang bersih.

Berdasarkan pengalaman, kerap para pendamping/advokasi dalam banyak kasus-kasus yang dianggap penting diantaranya, kasus-korupsi, pelanggaran HAM, kasus kekerasan rumah tangga, terbukti penegakan hukumnya urung berjalan karena saksinya terancam, dan tidak terlindungi dengan baik. Bila hal ini terus dibiarkan, maka permasalahan pengungkapan banyak kasus akan semakin sulit terselesaikan. Hingga saat ini, pengaduan-pengaduan adanya saksi yang diintimidasi dan mengalami kekerasan, makin hari makin banyak, dan mereka selalu terancam.

Segumpal asa yang tertingal bagi masyarakat terkait terwujudnya lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) ini, bahwa pemerintah harus mau melaksanakan apa yang telah diperintahkan UU dengan segera. Yang kemudian LPSK ini mampu melakukan kordinasi terhadap semua pihak, terkait persoalan perlindungan saksi dan korban yang berada dikejaksaan, pengadilan, sehingga para saksi dan korban ini dapat terlindungi dengan baik. Perlu semua pihak menyadiri bahwa perlindungan saksi dan korban ini memang betul harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan persoalan saksi dan korban. (MP)

.

Tidak ada komentar: