Subscribe to my full feed.

Jumat, 02 November 2007

Kejaksaan, Langkah Irit Menjepit Parasit


Code of Conduct Kejaksaan

Langkah Irit Menjepit “Parasit”

Kejaksaan selalu menjadi sorotan public, pasalnya para jaksa tidak jarang melakukant tindakan diluar aturan main profesinya. Di hari 23 Juli 2007 korps Adhiyaksa bisa tidak memulai langkah pencucian diri prilaku-prilaku parasit.

Sekali lagi, Kejaksaan Agung berupaya untuk membenahi diri. Pencitraan yang negative selama ini senantiasa “membanderoli” korps Adhyaksa ini. Dugaan keterlibatan Jaksa dalam mafia peradilan sudah menjadi rahasia umum. Jikapun ada laporan jaksa yang nakal, tak jelas juntrungannya. Ini membuat tensi tinggi masyarakat yang beraroma apatis terhadap kejaksaan.

Muchtar Arifin orang nomor dua di “gedung bundar”, mengakui adanya penyimpangan yang dilakukan jaksa. Penyimpangan yang terjadi disetiap lini itu sedang diupayakan untuk dicegah antara lain melalui program pembaruan kejaksaan. Bentuknya berupa pembentukan code of conduct atau kode prilaku jaksa, yang akan diluncurkan pada tanggal 23 Juli 2007 yang bertepatan dengan HUT Kejaksaan Agung.

Kapuspenkum Kejagung Salman Maryadi merinci beberapa hal yang diatur dalam kode prilaku jaksa. Antara lain, dalam menjalankan tugas profesi, jaksa harus menjalankan kaidah hukum, peraturan kedinasaan yang berlaku, bersikap mandiri serta bebas dari tekanan, bertindak secara obyektif dan tidak memihak. Secara eksternal, jaksa bertanggung jawab kepada publik sesuai dengan kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat untuk menjunjung keadilan.

Namun persoalannya, apakah pada setiap profesi penegak hukum sudah ditegakan aturan demi aturan yang tertuang dalam code of conduct, sebagai penjabaran dari kode etik (code of ethic) profesi? Serta, sejauhmana efektivitas kode etik profesi dan pedoman tingkah laku dalam membasmi praktik-praktik korupsi di kalangan aparat penegak hukum sendiri? Pertanyaan ini sangat relevan mengingat “trend” pelanggaran kode etik dikalangan penegak hukum saat ini.

Kode etik jaksa (1993), mengutip EY Kanter, SH (2001), sangat sumir. Didalam Kode Etik yang dinamakan Tata Krama Adhyaksa itu tidak ditemukan adanya pasal-pasal yang memuat sanksi hukum bagi anggota kejaksaan yang melanggar kode etik, serta tidak mengatur lembaga yang berwenang menangani pelanggaran itu. Acap kali tampak saat ini, jaksa tidak melakukan tindak pidana tetapi bisa melakukan suatu pelanggaran kode prilaku.

6 tertib Ismail Saleh
Rencana peluncuran code of conduct kejaksaan ini jelas menyedot atensi publik, khususnya para praktisi hukum, LSM pemantau peradilan. Bermacam aroma bumbu yang bercampur menanggapi hal itu. Demikian halnya Irawady Joenoes salah seorang “Vokalis” Komisi Yudisial (KY), menilai bahwa meski ada code of conduct, tidak serta merta akan mengurangi penyimpangan. Namun yang terpenting adalah pengawasan. Irawady mencontohkan pola penegakan disiplin yang diterapkan oleh Ismail Saleh, yang terkenal dikalangan jaksa dengan “6 Tertib Ismail Saleh”. Ketika ada aturan atau kebijakan baru yang dikeluarkan, lantas diikuti oleh Sidak Kjagung ke etiap aspek, bahkan sampai kepelosok-pelosok daerah.

Jadi menurutnya pengawasan itu merupakan yang terpenting. Jika ada perkara yang dianggap ada kesalahan, itu tetap diberikan pengawasan, yang kemudian tindakan Eksaminasi pun dilakukan. Sebab bukan tidak mungkin bila ada jaksa melakukan kesalahan. Seperti hal banyak kasus didaerah, dimana ada perkara yang menjadi perhatian publik, seperti korupsi yang apabila diperlukan Kejari turun tangan langsung untuk membacakan sendiri surat dakwaannya. Bila perlu diekspos kesemua media, kalau Kejari tidak sanggup minta Kejati dan kalau itupun kurang bawa ke Kejaksaan Agung.

“Jadi itulah tertibnya penegakan yang dilakukan dijaman Ismail Saleh. Tertib perkara, tertib administrasi, tertib keuangan, tertib personalia, dan dibarengi inspeksi mendadak yang kontineu oleh sang pimpinan,” papar Irawady yang juga mantan jaksa yang telah hampir 40 tahun.

“6 Tertib Ismail Saleh”, yang dibarengi Sidak dan pengawasan melekat (Waskat), jelas memberikan perubahan yang signifikan bagi korps Adhyaksa pada jamannya. Situasi menakutkan dengan pola pendisiplinan itu membawa dampak yang sangat positif. Kehati-hatian jaksa benar-benar dituntut, hingga karwayan TU sekalipun. Hingga karyawan yang keluyuran-keluyuran di Blok M saat jam kerja pun dipastikan akan terkena sanksi.

Cukup PP. 33
Keberhasilan penegakan disiplin pun tak lepas daripada pemimpinnya sebagai panutan bagi jajarannya. Pengawasan melekat bagi setiap pimpinan merupakan intrumen kejut yang menguatkan aturan yang telah dibuat. Selama ini ada kesan Tata Krama Adhyaksa berisi 15 kode etik yang bersifat umum, tidak berjalan dengan baik. Sebab bila hal itu dijalankan secara benar, tentunya tidak akan ada kelalaian jaksa untuk melakukan hal-hal yang menyimpang. Hal yang terpokok, adalah mesti adanya pengawasan yang melekat betul-betul ketat, yang tentunya dimulai dari pimpinan. Sehingga jika ada kesalahan jaksa semisal dalam membuat surat dakwaan, dapat dipastikan Kejari, Kejati dapat terkena sanksi, dan dianggap tidak mengawasi bawahannya. Dengan pola tegas seperti itu tentunya, para jaksa tidak mungkin akan sembarangan bertindak apalagi “bermain”, dalam setiap perkara.

Saat ini kejaksaan masih menjadi sorotan publik, karena dianggap masih belum mampu menertibkan dirinya sendiri, sehingga mendorong dibentuknya code of conduct kejaksaan. Menanggapi hal ini Irawady mengatakan, sebetulnya tidak perlu juga muluk-muluk, cukup dierapkan saja PP No.33 Tahun 1980 secara konsisten dan tegas, itu sudah bisa. Sebab code of conduct itu banyaklah urusan internal.

“Semua juga tahu apa soal internal itu. Kita juga bisa tahu dan membedakan code of conduct hakim dengan jaksa kok. Intinya tidak perlu juga terlalu banyak ketentuan, peraturan, cukup dengan PP No.30 Tahun 1980, Tri Darma Adhyaksa, cukup. Tinggal dipraktekan saja, kalau ada yang melanggar tarik saja, berikan sanksi, yang kita tahu sanksinya, ada yang sedang, berat dan berat sekali”, sergah Pak Ir sebuatan akrab Irawady Joenoes kepada Opini Indonesia (19/07) melalui percakapan telepon.

Meski saat ini masih sering ditemukan fakta dilapangan, adanya jaksa melakukan kesalahan dalam membuat surat dakwaan, dan itu merupakan menu sehari-hari bagi jaksa, Irawady mengusulkan, agar dilakukan Eksaminasi, diperiksa dakwaannya, apa ada unsur kesengajaan atau tidak? Itupun harus diiringi oleh pengawasan yang melekat dan kuat. Jika terbukti, tentunya tidak hanya si jaksa yang terkena sanksi, tetapi kaspidumnya (atasannya) pun terkena sanksi. Dengan begitu tentunya para pimpinan akan berhati-hati dan akan berkali-kali pun untuk menasehati bawahannya. Tinggal kesimpulan dari ini semua, kejaksaan berani tidak menerapkan?

Terkait tidak berjalannya fungsi Badan Pengawas Komisi Kejaksaan, Irawady mengaku bingung, tidak mengerti! “padahal kan mudah, ketika badan pengawas melihat ada yang melanggar tinggal tindak saja kok! Jadi subtansinya bukan pada aturannya, tapi pada komitmennya. Ada political will atau tidak? Seperti sat ini, banyak laporan dari masyarakat jaksa yang melakukan pelanggaran, sanggup tidak Hendarman melakukan Sidak-sidak seperti yang dilakukan oleh Ismail Saleh? “Mampu tidak Hendarman menjadi panutan bagi bawahannya? Memang langkah tersebut menyita energi, namun jangan sampai memilih langkah irit dengan membuat code of conduct, gagal “menjepit parasit,” kilah Irawady. (MP)

.

Tidak ada komentar: