Subscribe to my full feed.

Jumat, 02 November 2007

Statuta Roma Peredam Trauma



.Rencana Ratifikasi ICC Tahun 2008

Untuk pertamakalinya dalam sejarah, dunia memiliki satu lembaga peradilan internasional yang bersifat permanen. Lembaga itu memiliki kewenangan untuk menyelediki, mengadili menghukum individu, presiden, jenderal, panglima perang ataupun tentara bayaran yang terbukti telah melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan ataupun pembantaian umat manusia (genocide). Lembaga baru ini bernama Mahkamah Pidana Internasional ( International Criminal Court).

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dikenal juga dengan sebutan “statuta Roma”, untuk pertamakalinya ditandatangani puluhan negara

ada tanggal 17 juli 1998. sekalipun begitu banyak negara telah menandatangi statuta Roma namun ICC tidak dapat segera terbentuk karena ada satu syarat berat yang lebih dahulu dipenuhi, yakni harus diratifikasi sekurang-kurangnya 60 negara. Meski saat ini telah lebih dari 70 negara yang telah mmeratifikasi ICC tersebut.

Selama ini penegakan HAM hanya diikat perjanjian bilateral antarnegara, yang sifatnya sebatas moral, namun dengan ICC tentuny akan ada mekanisme penegakan HAM yang bisa menjatuhkan hukuman. Masyarakat internasional kini ada dibawah perlindungan HAM yang bersifat mengikat.

Namun demikian statuta Roma tetap menghormati kedaulatan negara sehinga ICC ditempatkan sebagai pengadil tingkat akhir (court of last resort). Artinya, negaralah yang pertama-tama memiliki hak untuk memproses secara hukum orang-orang yang diduga melakukan kejahatan besar terhadap kemanusiaan tersebut kecuali apabila negara yang bersangkutan ternyata tidak menunjukan itikad politik atau tidak mampu memprosesnya (unwilling or unable).

Saat ini kencang berhembus niatan pemerintah Indonesia untuk meratifikasi ICC pada tahun 2008 yang akan datang. Tak heran kemudian banyak pihak aktifis HAM, kritisi HAM, praktisi hukum, dan para korban HAM, yang mendukung penuh rencana tersebut. Memang hal hal ini telah direncanakan, sebab hal itu merupakan amanat dari Rencana Nasional Hak Asasi Manusia (RENHAM), yang telah ditetapkan sejak tahun 1998-2003, yang diperpanjang pada tahun 2003-2008.

Agenda untuk meratifikasi ICC, dianggap sesuatu hal yang positive. Apalagi Indonesia sekarang ingin meratifikasi 2 konvenan PBB, yaitu konvenan Internasional Sipil dan politik dan tentang hak ekonomi, budaya. Dua komponen ini hanya menyangkut kewajiban-kewajiban negara ditingkat nasional untuk mengambil langkah-langkah perlindungan HAM dan kewajiban internasional yang bersifat pelaporan. Sementara ICC, ini mengikat negara untuk menyerahkan siapapun nanti yang terlibat didalam kejahatan internasional, baik WNI, WNA ataupun yang terlibat. Apakah itu kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan ataupun pembantaian etnis, itu akan diadili dipengadilan internasional di Den Haag (Belanda), yang harapan para aktifis HAM proses itu dipercepat.

Soal apakah kepastian ICC akan diratifikasi oleh pemerintah Indonesia? Yang mana kita tahu pemerintah kita kurang menunjukan niatan baik pada setiap kasus penegakan HAM selama ini. Hal ini ditanggapi oleh salah seorang “Vokalis” Kontras, Usman Hamid, yang mengatakan,” menurut saya itu dua persoalan yang berbeda, yang satu memiliki sifat otomatis dan yang satunya bersifat penegakan terhadap aturan hukum. Bila yang pertama, bersifat sebatas meratifikasi, mengadopsi suatu aturan hukum internasional tentang HAM. Bahkan merubah hukum nasional, yang merupakan sesuatu yang berjalan, yang mana hal itu menunjukan perkembangan kearah positive. Hanya ketika sampai pada tingkat pelaksanaan dari aturan itu, saya masih ragu,” sergah Usman kepada Opini Indonesia, Kamis (26/7) di Jakarta.

Hal yang berbeda disampaikan Cordinator Human Right Working Group (HRWG), Rafendy Djamin, yang menerangkan, “ sekarang kita belum bisa melihat kepastian-kepastian itu saat ini, sebab proses yang ada saat ini justru harus segera didorong. Akan tetapi tidak ada suatu konsultasi yang dimulai dari tingkat pemerintah, departemen luar negeri dan departemen hukum dan HAM, yang melibatkan unsur LSM pemerhati HAM, untuk meratifikasi statuta Roma ini. Tahap ini kemudian dilanjutkan dengan melibatkan tokoh-tokoh komisi HAM yang berada di DPR. Lantas langkah selanjutnya yang dapat kita lakukan adalah memastikan untuk mengikuti proses tersebut, dengan fungsi sebagai pengawalan dan pemantauan proses tersebut, terutama media” papar Rafendi Djamin.

Menurutnya, ada pekerjaan rumah bagi kita untuk mendorong proses persiapan ratifikasi itu agar sesuai dengan apa yang direncanakan dalam RENHAM. Sebab proses persiapan tersebut sangat penting sekaligus untuk mengindetifikasi dan melihat kelemahan-kelemahan sistem peradilan HAM Indonesia yang jelas-jelas gagal menghukum para pelaku serta punahnya pemberian keadilan kepada para korban. Artinya ratifikasi ini justru merupakan suatu proses yang akan mendorong diperhatikannya secara serius revisi terhadap kerangka hukum yang ada sekarang, yang mengakibatkan gagalnya sistem peradilan HAM di Indonesia.

Namun demikian ICC ini bukanlah tanpa kekuarangan, bahkan ICC inipun mendapat kritikan dunia, dari para aktifis HAM, karena ICC ini kembali bersikap Ambigu, karena ICC ini diberlakukan terhadap kejahatan-kejahatan yang berlaku setelah ICC itu diberlakukan. Meski ICC ini telah berlaku bertahun-tahun akan tetapi itu tidak dapat berlaku bagi negara yang belum meratifikasi ICC. Bahkan walaupun telah meratifikasi oleh sebuah negara, tetap harus dihitung sekian puluh hari baru itu bisa berlaku.

Jadi kritik mendasar terhadap pmebuatan ICC atau statuta Roma ini, karena tidak memungkinkannya bagi suatu negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM sebelum ICC itu dibuat. Sehingga meskipun seandainya kita melakukan kejahatan kemanusian, karena kita belum meratifikasi ICC maka ada kesan kita boleh melakukan tindak kejahatan itu. Ada stigma seakan diperbolehkan. Didalam ICC masih ada pasal yang bermasalah, karena masih menolak pemberlakuan kebelakang. Dan itu dirumuskan didalam suatu bahasa diplomasi untuk menyembunyikan ketidaksediaan negara terhadap kebutuhan untuk menyelesaikan berbagai problem kemanusian yang terjadi diberbagai daerah. Dengan alasan ini hanya berlaku kedepan, ditambah adanya dalil, pasal azas-azas hukum pidana, hukum yang membolehkan berlaku surut. Ini inti dari kelemahan statuta Roma.

Ada dua pasal yang dianggap menutupi kasus terkait masa lalu, yang dalam statuta tersebut sengaja menggunakan berlafal latin, “Yurisdiksi Rasionale Temporale”. Yang menekankan bahwa pengadilan ICC ini memiliki yurisdiksihanya dalam masalah kejahatan yang dilakukan setelah diberlakukannya statuta ini, ini dipasal 11. dalam pasal 24 tertera, “Mengretroaktifitas Rasionalis Personale”, memiliki arti, bahwa tidak ada yang bertanggungjawab atas kejahatannya, menurut statuta ini untuk perbuatan yang dilakukan sebelum diberlakukannya statuta ini. Statuta ini hanya berlaku 60 hari setelah diratifikasi oleh 60 negara.

Meski demikian, semua pihak harus memiliki sudut pandang positif akan rencana ratifikasi ICC ini. sebab telah menjadi komitmen pemerintah Indonesia (RENHAM). Meski hingga saat ini masih menunggu penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat dimasa lalu. Sehingga pemerintah akan setuju bahwa kedepan semua pihak harus mencegah pelanggaran HAM berat. Salah satu pencegahan itu adalah dengan meratifikasi ICC. Akan tetapi tentunya, pencegahan itu tidak hanya dengan pasal-pasal saja tetapi diiringi penghukuman terhadap mereka pelaku kejahatan HAM berat. Sehingga benar jika Statuta ini menjadi obat peredam trauma bagi para korban HAM. (MP)

Tidak ada komentar: