Subscribe to my full feed.

Jumat, 02 November 2007

PTIK, Perguruan Tinggi Ilmu Kejahatan


Tawuran Napi LP Cipinang

“ Perguruan Tinggi Ilmu Kejahatan”

Berangkat dari kutipan sang Proklamator Soekarno dalam salah satu buku tertulis, “ Universitas yang paling tinggi didunia adalah penjara”, Bung Karno menjelaskan bahwa sampai detik ini, penjara hanya mampu membatasi dari segi fisik saja, namun tidak mampu memenjarakan (membatasi) pikiran dan hati nurani manusia. Fakta “berbicara”, seorang Gunawan Santosa yang mampu melarikan diri dari “kampus kejahatan”(LP), menjadi bukti bahwa pikirannya tak bisa dipenjara, hati nuraninya tak dapat dibatasi.

Insiden tawuran napi di LP Cipinang Jakarta Timur, pada Selasa (31/7) yang melibatkan dua kelompok, kelompok “Batak, Palembang” Penghuni blok baru (A,B,C) dan “Arek (Jawa Timur)” penghuni blok lama (E,F). Bentrokan itu mengakibatkan tewasnya 2 orang napi, Cak Monte dan Slamet. Insiden tersebut terjadi usai makan pagi di Aula blok I pukul 09.30 WIB, Selasa (31/7). Kedua kelompok tersebut telah lama berseteru, terkait perebutan kekuasaan dan eksitensi.

Bentrokan tersebut menjatuhkan banyak korban, dikarenakan banyak senjata tajam yang digunakan saat tawuran. Seperti, Golok, pisau, badik, besi yang sudah diasah dll. Meski kalapas Cipinang, Joko yang mengatakan bahwa tidak mengetahui dari mana asalnya senjata tajam yang digunakan para napi. Namun ucapan Joko terkesan sangat klise. Bagaimana mungkin petugas LP tidak mengetahui masuknya senjata tajam? Lalu apa kerja para petugas LP?

Kehidupan yang ada di lembaga pemasyarakatan sangat keras dan menakutkan, kumpulan orang yang divonis hukum bersalah dengan beraneka ragam kesalahan, kumpul dan hidup bersama dalam satu atap. Tak heran memang sejak awal penjara berdiri selalu ada kelompok-kelompok. Pengelompokan itu sudah ada sejak lembaga pemasyarakatan itu ada pada tahun 1967. Pengelompokan itu terdiri dari pengelompokan etnis. Alasannya pengelompokan berdasarkan etnis itu justru awalnya untuk mencegah benturan antar etnis di lembaga pemasyarakatan apa bila etnis-etnis itu dicapur baurkan dengan etnis yang berbeda-beda.

Over Capasity

Meski sebenarnya ada hal yang mudah untuk mengatasi konflik antara etnis ini, namun selalu terbentur masalah hukum (peraturan). Pada dasarnya suda ada sistem untuk menangani benturan para napi di LP itu. Mereka yang terlibat tawuran biasanya bila mana sesudah benturan antar kelompok maka para napi yang terlibat akan dipindahkan kepenjara lain atau dipindah ke Nusa Kambangan. Lain halnya dengan napi yang berasal dari LP Jabotabek, tidak mudah melakukan pemindahan mereka. Karena proses pemindahannya mesti ada ijin pengadilan, banding, kasasi sampai pada PK.


Disisi lain, badan lembaga pemasyarakatan (LP) yang ingin memindahkan napi itu tidak cukup hanya dengan ijin LP saja tetapi mesti mendapat ijin dari keluarga atau masyarakat. Namun telah menjadi kebiasaan, pemindahan napi terjadi setelah terjadinya suatu kasus.

Terkait bentrokan LP Cipinang (31/7), disinyalir disebabkan kurang sigapnya para petugas LP mendeteksi adanya kelompok etnis yang terlibat konflik, sehingga tidak ada antisipasi yang cepat. Persoalan lain yang menjadi “laten”, adalah over capasity jumlah napi yang ada didalam LP. Bagaimana tidak, bayangkan didalam satu kamar diisi oleh 30 – 40 orang napi. Hal ini juga yang secara psikologi membuat temperamen napi mudah naik (emosi tinggi). Kondisi seperti itu menyebabkan ruang sel dan minim sirkulasi udara, sesak dan tidak nyaman.

Napi yang terkait pidana umum biasanya menjadi pemicu konflik, karena ada persoalan uang. Dibandingkan dengan napi yang terkait kasus narkoba, biasanya jarang terjadi keributan atau konflik. Karena secara umum juga kelompok ini memiliki peredaran uang yang lancar. Sebab dari latar belakang mereka yang para pengedar narkoba kebanyakan adalah orang yang yang tidak butuh uang tapi justru mereka kelompok orang yang menghambur-hamburkan uang (keluarga mampu). Sehingga kelompok ini pun biasanya jarang bermasalah.

Masalah penanganan dan antisipasi petugas LP Cipinang sudah lama menjadi sorotan banyak pihak, salah satunya “Alumnus” LP Cipinang, Anton Medan yang mengatakan, Para petugas LP itu menurut saya bagaikan “Malaikat”, dan para sipir itu tentunya akan bisa masuk surga duluan. Seorang sipir penjara dalam satu LP biasanyanya harus mengawasi 70-80 orang jahat. Menurut Anton Medan kondisi ini tidak bisa diterima oleh logika.

“Kita saja membina remaja mesjid susahnya minta ampun, apalagi membina orang pintar yang cuma tidak benar saja tindakannya. Jelas ini memang sangat sulit. Kita harus obyektiflah, apakah satu orang itu mampu menjalankan tugas pengawasan itu? Jadi menurut saya hal yang wajar ketika seorang sipir itu ditugaskan mengawasi 20 orang napi saja”, tegas Anton yang telah berganti nama menjadi Alifuddin El Islamy, kepada Opini Indonesia melalui percakapan telepon, kamis malam (2/8/07).

Anton Medan menambahkan, bahwa hal itulah yang menjadi “PR” bagi DPR selama ini kerjanya hanya “ngoceh-ngoceh” saja. Padahal seharusnya bagaimana DPR dapat memecahkan problem yang ada di LP itu.

Selain lemahnya pengawasan menjadi sebab juga adanya bentrokan para napi di LP Cipingan itu. Alasan fundamentalnya terkait mental kebiasaan para petugas LP yang “Berangkat pagi, pulang sore”, sehingga mengakibatkan para napi tidak diberdayakan dan didik maksimal.

Kesan yang jelas tampak dimata publik, dari menteri sampai kalapas, karutan (kepala rutan), hanya berorientasi hanya sebatas profesi semata. Padahal sebenarnya ada dua makna dalam tugas-tugas penangan napi di LP, yakni “Pengabdian atau profesi”.

Jika Kalapas, Karutan hanya orientasinya sebatas jadi karyawan, PNS saja, maka tidak heran bila terjadi peristiwa tawuran napi seperti saat ini. Jika mereka berorientasi sebagai pengabdian tentunya mereka akan sebaik mungkin mengarahkan, memberdayakan napi serta mencari jalan keluar masalah over kapasitas yang ada.

Sarjana Kehidupan

Kenyataan pahit, bahwa ada 424 LP yang ada di Indonesia, hampir semua LP kelas 1, kelas 2A, kelas 2B, over kapasitas. Hal ini jelas perlu ada pemecahan, yang jelas dalam pemecahannya terkait pula persoalan UU. Yang mana dalam hal ini peran DPR sangat diharapkan. Dan bila DPR berperan, tentunya akan berguna sekali dan menguntungkan dan membantu para oknum anggota DPR juga nantinya, yang akan masuk ke LP. Sebab publik pun telah sedikit banyak tahu tentang tingkah laku para anggota DPR yang banyak menyimpang. Saat ini saja telah 217 anggota DPR dan DPRD yang masuk LP diseluruh Indonesia. Ada pentingnya “Sedia payung sebelum hujan”.

Terkait persoalan pembinaan, bila benar mengacu pada pembinaan lembaga pemasyarakatan, jelas napi akan memperoleh manfaatnya. Tetapi kadang “teori dan praktek berbeda”. Intinya apakah sistem lembaga pemasyarakatan itu berjalan atau tidak? Bila sistem tersebut berjalan, dapat dipastikan napi akan memperoleh kemajuan dan kepintaran.

“Napi akan mengetahui banyak hal sehingga dimungkinkan ia akan keluar menjadi “sarjana kehidupan”, berkat bekal pembinaan tadi. Namun bila tidak atau sebaliknya, tentu si napi akan justru menjadi sarjana kejahatan,” ujar Anton Medan

Bila dalam kepolisian, yang mempunyai sarjana berasal dari PTIK, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Tapi kalau napi yang keluar LP tanpa pembinaan yang benar maka ia akan menjadi sarjana “PTIK”. Dalam istilah Anton Medan PTIK itu memiliki arti Perguruan Tinggi Ilmu Kejahatan, “sarjana kejahatan”. Apakah pemerintah dan DPR akan membiarkan lahirnya sarjana kejahatan ini? Kita tunggu saja! (MP)

.

Tidak ada komentar: