Subscribe to my full feed.

Jumat, 02 November 2007

Uang Pengganti, Antara Goib dan Raib


Uang Pengganti di Kejaksaan
Antara Goib dan Raib

Problem sistem merupakan penyebab banyaknya praktek penyimpangan di Kejaksaan. Kejaksaan tidak bersih (clean)

Bak cerita misteri yang penuhi teka-teki, kembali menyelimuti “Gedung Bundar”, Kejaksaan, terkait Uang pengganti yang belum disetorkan ke Kas negara. Banyak pihak mempertanyakan bahkan tidak segan-segan menuding adanya “permainan” dalam pengelolaan dana tersebut. Sebab selama ini kejaksaan agung kerap menutup data rapat-rapat terkait dana uang pengganti yang sudah maupun yang belum dieksekusi, berikut jumlah besaran dananya.

Bukti dan sumber lain pun menguatkan hal tersebut, yakni uang Tipikor berdasarkan data realisasi APBN tahun 2005 – 2007, tidak terlihat adanya setoran uang pengganti hasil korupsi dari kejaksaan maupun Tim Pemberantasan Pidana Korupsi. Didalam mata anggaran pendapatan kejaksaan dan peradilan dengan nomor 4232, mulai dari 423211 – 423219, yang tercantum hanya pos pendapatan legalisasi tanda tangan, pendapatan pengesahan surat dibawah tangan, pendapatan uang meja (leges) dan upah pada panitera badan pengadilan, pendapatan hasil denda/tilang, pendapatan ongkos perkara, serta pendapatan kejaksaan dan peradilan lainnya.

Dimata anggaran penerimaan lainnya juga tidak ditemukan adanya setoran uang pengganti hasil korupsi dari kejaksaan. Sedangkan pada mata anggaran penerimaan Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) dengan nomor 42411, tercantum pendapatan uang sitaan hasil korupsi yang telah ditetapkan pengadilan. Total uang sitaan yang sudah disetorkan KPK tahun 2004 – 2007 sebesar Rp 42,34 miliar.

Ketidakpatuhan lembaga negara terhadapan perundang-undangan memang menjadi “kanker” hampir disemua instansi pemerintah. Diantaranya adalah dalam pengelolaan penerimaan negara bukan pajak, pengelolaan barang milik atau kekayaan negara, serta pencatatan dan pelaporan belanja subsidi dan transfer dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini disampaikan oleh ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Anwar Nasution, beberapa saat lalu.

Anwar, sempat mempertanyakan, tindakan kejaksaan yang tidak menyetor dana uang pengganti yang telah dieksekusi, ada dana yang telah dieksekusi 17 tahun lalu namun belum disetor ke kas negara. Meski ada “nada” bantahan yang keluar dari pihak kejaksaan, melalui Thomson Siagian selaku Kapuspenkum kejaksaan. Namun ia mengakui bahwa JAM Pidsus dan JAM Was telah diperintahkan Jaksa Agung untuk meneliti hal itu. Sebab Jaksa Agung tidak sependapat dengan definisi uang pengganti yang dipermasalahkan oleh ketua BPK Anwar Nasution.

Menanggapi hal itu, salah seorang anggota DPR dari Komisi III fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari berkomentar, “ Saya mencoba melihat dari sisi positif, kita tahu bahwa jaksa agung ini baru dan publik juga tahu benar bahwa sebagian besar lembaga-lembaga kementerian itu memiliki citra yang buruk saat ini terkait hal disiplin dan korupsi. BPK sendiri tidak memberikan opini yang jelas, semuanya disclaimer,” paparnya.

Dalama pandangan Eva, itu artinya, bahwa ada problem pada administrasi penyelenggaraan negara terutama persoalan bujet (dana). Dalam hal ini menteri keuangan pun mengakui, bahwa sampai jabatannya berakhir pun situasi ini akan tetap tidak terkendali. “Problem sistem merupakan penyebab banyaknya prakti-praktik yang menyimpang”, ucap Eva kepada Opini Indonesia, Rabu (8/8).

Eva menambahkan, masalah sistem yang memberikan peluang adanya praktik-praktik pelanggaran masih terus berlangsung saat ini. Praktek itu terjadi disemua lembaga tidak hanya kejaksaan agung. Ia mencontohkan, adanya 49 rekening gelap baru-baru ini yang muncul, dan itu merupakan tantangan bagi Menkeu. Meski DPR sempat pula mempertanyakan pada rapat kerja Komisi III dengan menteri keuangan terkait, program apa yang akan dilakukan Menkeu terutama di departemennya terhadap pembenahan pengelolaan keuangan sehingga BPK tidak kerap disclaimer? Dengan demikian adanya tekanan dari DPR ini akan mendorong Menkeu secepatnya untuk melakukan pembenahan terutama pada persoalan kontrol keuangan. Dan hal itu tunggal menjadi kewenangan menteri keuangan.

Kejaksaan tidak clean
Adalah keharusan bagi menteri keuangan untuk mengontrol keluar masuknya uang negara. Adanya praktek-praktek penyimpanan dalam hal keuangan Negara itu merupakan bukti belum adanya standart prosedur yang jelas dari Depkeu. Ini merupakan salah satu kelemahan menkeu terhadap sistem kontrol, ini dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga yang ada, salah satunya “Mengendapkan” uang negara. Solusinya Menkeu harus mau duduk bersama untuk menentukan prosedur-prosedur dan standart kerja sehinga uang negara ini tidak menjadi barang yang diperlakukan secara non-konstitusional.

Sikap kejaksaan yang kurang transparan terkait uang pengganti mendapat sorotan tajam dari anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Akil Mochtar. Akil mengatakan, bahwa tidak bisa kejaksaan menutupi data secara sepihak, sebab didalam UU Kejaksaan keterbukaan merupakan bagian tugas institusi. Uang pengganti yang telah berhasil disita harus segera disetor ke kas negara, karena hal itu mesti ada dalam laporan tiap tahun didalam laporan APBN.

Akil menyatakan, kejaksaan harus membangun akses informasi dalam rangka transparansi. Sebab transparansi itu merupakan salah satu syarat pelaksanaan daripada “Clean Government”, sehingga Kejaksaan Agung yang baru ini harus berani memperbaiki semua masalah. Artinya, sebelum ia melakukan penegakan terhadap institusi yang ada diluar terkait pidana korupsi, maka institusi kejaksaan sendiri harus “Clan”, terlebih dahulu. Bila tidak, tentunya masyarakat akan semakin memandang negatif institusi kejaksaan.

Kondisi diatas akan berdampak pada sikap sekeptis masyarakat terhadap proses pemberantasan korupsi. Sebab didalam internal kejaksaan sendiri masih terjadi korupsi.

DPR telah mendorong adanya agenda untuk meminta BPK melakukan audit investigasi atas dana-dana dan uang pengganti. Menkeu diminta untuk membuat atau memperbaharui standart prosedur kerja terhadap pemasukan yang ada di kejaksaan, yang kemudian ditangani secara kelembagaan sesuai mandatnya sebagai menteri keuangan. Jangan sampai uang pengganti itu berbunga didalam rekening Jaksa Agung. Seluruh lembaga negara harus masuk kedalam siklus pengelolaan uang negara, yang ditangani langsung oleh menteri keuangan.

Kenyataan saat ini, banyak pelaku korupsi berikut hasil jarahannya tidak tersentuh hukum. Bukti lemahnya aparat penegak hukum dan praktik “mafia peradilan”, yang masih merajarela dinegeri ini. Masyarakat yang kerap menjadi korban semakin terdegradasi kepercayaannya terhadap persoalan hukum. Niat penegak hukum untuk memberikan efek jera kepada koruptor, semakin tidak terlihat, terbukti korupsi semakin subur.

Terkait uang pengganti ini alangkah baiknya menjadi momentum bagi kejaksaan untuk membuktikan kepada publik, soal keseriusan “Korps Adhiyaksa” ini dalam pemberantasan korupsi. Jangan sampai publik menganggap, uang pengganti itu berstatus “Goib” atau bahkan benar-benar “Raib”, sebab kejaksaan tentunya tidak ingin menjadi institusi “Penghasil Aib”, selamanya. (MP)

.

Tidak ada komentar: